Wednesday, March 28, 2018

Peran Ayah Memang Tak Tergantikan

Kita pasti sepakat bahwa menjadi orangtua bukan perkara mudah, apalagi tidak pernah ada latihan untuk memulainya. Orangtua merupakan fondasi awal bagaimana karakter seorang anak dibentuk. Apa pun yang terjadi pada anak, baik atau buruk, selalu disebabkan oleh pengasuhan dan siapa orangtuanya. Ada anak nakal dan suka berkelahi, lalu seluruh orang di sekitar anak itu pasti akan bertanya, “Siapa orangtuanya?” Ada anak berprestasi dan mendapat juara, seluruh orang pun bertanya, “Siapa orangtuanya?”
 
Semua orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, termasuk mencukupi kebutuhannya. Orangtua bekerja keras agar anak terpenuhi atau secara finansial tidak kekurangan. Kesibukan tak henti agar anak bisa hidup berkecukupan. Hingga akhirnya peran ayah pun tergantikan karena ayah yang tak punya waktu alias sibuk bekerja. Sebagian orangtua malah berpikir pengasuhan hanya pada pundak ibu semata. Lebih parah lagi jika orangtua menyerahkan pengasuhan sepenuhnya pada pihak ketiga, seperti asisten rumah tangga, dlsbg. Usut punya usut jika mendengarkan curhat teman-teman, persoalan kehidupan yang mereka alami, termasuk pengasuhan dan orangtua. Ketiadaan peran ayah di masa kecil apalagi menentukan perkembangan emosional mereka di masa kini, seperti ketidakbahagiaan. 
 
Sebagaimana yang dikutip dalam laman daily mail 2012 bahwa cinta seorang ayah ternyata penting dalam kehidupan anak. Adalah Profesor Ronald Rohner, seorang peneliti mengatakan bahwa cinta ayah adalah kunci untuk perkembangan anak. Dia berharap temuannya akan memotivasi lebih banyak pasangan orangtua terlibat dalam merawat anak-anak mereka. Temuan ini berdasarkan kajian terhadap lebih dari 10 ribu kasus anak lelaki dan anak perempuan yang mengungkapkan figur ayah yang dingin atau ketiadaan peran ayah sehingga merusak kehidupan anak tersebut. Di era serba sibuk dengan rutinintas pekerjaan untuk kebutuhan finansial, pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak hanya peran ibu semata dalam mengasuh anak, ayah juga figur utama. 
 
Pernyataan ini menegaskan bahwa anak-anak dalam keluarga butuh figur ayah di rumah dalam membangun impian dan masa depan anak. Jika kita setuju bahwa orangtua harus memberikan yang terbaik untuk anaknya, berikanlah cinta dan kehadiran anda juga sebagai ayah. Niscaya anak-anak akan tumbuh dewasa yang bahagia, nyaman dan sehat. 
 
* Untuk seorang teman baik yang sedang menjadi ayah.

Pengalaman Itu Mahal Harganya!


Pagi itu, aku bertemu dengan seorang nenek tua di tepian desa. Dia sedang mengambil air di sumur tua milik desa. Sumur tua yang terletak jauh dari keramaian desa, sehingga setiap orang harus berjalan berkilo-kilo untuk menjangkaunya, termasuk nenek tua di sebelahku ini.
 
“Nenek saja duluan, silahkan!” kataku kepada nenek tua usai antrian jatuh padaku.
 
“Tidak, Nak. Kau saja duluan. Kau sudah datang lebih dulu,” sahutnya padaku.
 
“Nenek pasti lebih membutuhkan air dari pada saya, jadi biar lebih dulu. Saya bisa kemudian,” sahutku meyakinkan.
 
Dia pun menurut, dua jirigen air besar disiapkannya di sebelah pancuran sumur. Dengan tangannya yang renta dan mulai gemetar, ia meraih jirigen besar pertama. Dia mulai memastikan air bisa masuk ke dalam jirigen tersebut. Sambil menunggu air penuh, dia mengajakku berbicara.
 
Mulanya aku menghindar, aku yakin nenek ini akan bercerita tentang masa lalu yang jadi kejayaannya sama seperti orang-orang tua pada umumnya. Sindrom power, pikirku.
 
Makin lama aku menyimak kisah dari cerita yang dituturkannya, sembari menanti tetes demi tetes air. Entah mengapa saluran air berjalan tersendat bahkan untuk satu jirigen milik nenek saja bisa begitu lama penantiannya. Aku begitu gelisah menunggu.
 
“Nak, biarkan tetesan air mengalir. Alam selalu punya caranya sendiri untuk menguji kesabaran kita.”
 
Aku tertunduk malu dan diam. Aku ‘kan sudah mempersilahkan nenek ini lebih dulu, itu artinya aku sudah menerima konsekuensi apa pun, termasuk lebih lama menunggu giliran. Gumamku dalam hati.
 
Tiba-tiba nenek itu bertanya memecahkan kesunyian tetesan air yang kami tunggu. “Apa yang berharga dalam hidupmu, Nak?” tanya nenek. Aku bingung lantas menjawab, “Tidak tahu. Mengapa Nek?”
 
“Ketika aku muda, aku selalu berpikir hal yang berharga dalam hidup adalah harta. Aku bekerja siang malam agar memiliki banyak harta, namun aku tidak bahagia. Lalu aku merenung lagi. Aku sadar bahwa hal yang berharga dalam hidup adalah ilmu. Aku ambil lagi studi agar bisa meraih gelar yang tinggi hingga setiap orang hormat padaku, namun lagi-lagi aku tidak bahagia,” cerita nenek.
 
Aku jadi penasaran dengan ceritanya. Dengan sedikit menelisik aku dekatkan tubuhku agar menjadi jelas cerita akhirnya. “Lalu apa yang berharga sehingga membuat nenek bahagia?” tanyaku.
 
“Kau penasaran rupanya,” senyum nenek tua terukir di wajahnya. Aku membalas senyumnya kembali.
 
“Ketika aku sudah tua, aku baru sadar. Bahwa hal yang paling berharga adalah pengalaman. Pengalaman itu mahal harganya, hingga aku menyesal mengapa tidak sejak dulu aku mengalami bahwa hidup itu indah. Aku begitu sibuk melewatkan keindahannya.” Cerita nenek membuatku terhenyuk.
 
“Carilah pengalaman sebanyak-banyaknya, Nak!” serunya sambil mengambil jirigen kedua untuk diisi air. Kemudian katanya lagi “Mencari harta akan membuatmu berat melangkah di dunia ini tetapi mencari pengalaman akan selalu ringan dibawa.”
 
“Dunia ini adalah gudang ilmu. Belajarlah daripadanya bahkan dari alam sekalipun,” tegas nenek tua itu kepadaku.
 
Nenek tua memintaku menikmati setiap tetes air meski lambat jalannya. Ternyata ia benar, sembari menunggu tetesan air selalu ada pengalaman berharga yang aku dapatkan.
 
Apa sih yang dicari di dunia ini? Hal yang paling berharga pasti sudah pernah kita dapatkan dalam hidup, bukan emas berlian atau gelar yang tinggi tetapi mungkin saat kita sakit, tidak berdaya, dicampakkan, jatuh dan terpuruk. Setiap waktu begitu berharga, karena itulah pengalaman yang kelak akan diceritakan kepada anak cucu nantinya. Pengalaman begitu berharga karena tidak setiap orang mengalami hal yang sama seperti yang kita alami.

Strategi Ajari Anak Membaca secara Komperhensif

(Meminta anak untuk bercerita kembali koran yang baru saja dibaca adalah contoh strategi mengajari anak membaca secara komperhensif. Setidaknya anak mampu memberikan pemahaman dari bacaan dengan kalimatnya sendiri. Sumber foto: Dokumen pribadi)
Dunia pendidikan memang tak pernah habis untuk dikupas karena isu pendidikan sifatnya dinamis. Begitu pula dengan membaca, yang menjadi salah satu cara yang digunakan dalam pendidikan untuk mengenal dan memahami. Sepintas kita anggap membaca hanya sekedar kebiasaan atau minat saja, termasuk saya yang suka membaca dan melahap aneka buku. Saya paling betah berada di perpustakaan dan toko buku. Tetapi sadarkah anda, apakah anda bisa memahami satu buku yang baru saja anda baca? Pengalaman saya pribadi, saya bisa cepat menghabiskan beberapa buku misalnya dalam satu hari, misalnya novel atau romans yang mudah ditebak jalan ceritanya. Tetapi saya belum tentu memahami buku tersebut. Atau ada juga buku karya sastra yang jika saya baca tak pernah paham. Ternyata usut punya usut, ketrampilan membaca (reading fluency) belum sebanding dengan membaca secara komperhensif (reading comprehension).
 
Apa itu membaca secara komperhensif? Menurut wikipedia yakni, kemampuan untuk membaca teks, memprosesnya kemudian mencernanya sehingga menjadi suatu pemahaman. Jadi dapat dikatakan bahwa membaca secara komperhensif berarti suatu tingkatan untuk mengukur pemahaman membaca. (http://en.m.wikipedia.org/wiki/Reading_comprehension)
 
Membaca secara komperhensif perlu ditanamkan sejak dini. Mengapa? Karena membaca secara komperhensif melatih otak untuk berpikir menangkap makna teks yang dibacanya sehingga menjadi pemahaman. Sebenarnya indikator keberhasilan seorang anak bisa membaca terletak dari kemampuan visual untuk mengenali teks sehingga menjadi lancar membaca dan kemampuan kognisi untuk membentuk pemahaman. Jika anak menjadi terampil membaca alias lancar, apakah anak bisa memiliki kemampuan memahaminya juga?
 
Berikut strategi mengajari anak dalam membaca secara komprehensif,
1. Dongeng Mendongeng adalah salah satu aktivitas yang meransang anak untuk berpikir dan memahami cerita yang baru saja didengar dan dilihatnya. Mendongeng tak melulu lewat buku bacaan, anda bisa bercerita langsung sesuai imajinasi anda tetapi ingatkan selipkan hal dan pesan positif dari dongeng yang anda sampaikan. Di akhir dongeng, anda bisa bertanya apa yang ditangkap anak lewat cerita tadi? Jika anak sudah terlanjur tertidur, anda bisa ulang pertanyaan yang sama di kemudian hari. Selain membantu memori anak, anda bisa memberikan petunjuk sehingga anak bisa dengan mudah bercerita pemahamannya.
 
2. Bedah buku Sewaktu berkunjung ke suatu sekolah yang berhasil menerapkan progam membaca menjadi program rutin tiap minggu, saya jadi terinspirasi bahwa ternyata hasil bedah buku yang dilakukan selama 10 menit usai program membaca mampu mendorong anak untuk berkreasi sendiri menciptakan kumpulan-kumpulan tulisan. Kini sekolah mampu mengkoleksi cerita anak dan menerbitkannya secara mandiri menjadi buku bacaan. Bedah buku bisa dilakukan melalui diskusi dalam kelompok kecil anak atau bedah buku bisa dilakukan dengan cara mendiskukannya dalam forum terbuka di kelas tentunya guru berperan sebagai fasilitator agar bedah buku berjalan kondusif.
 
3. Buddy sharing (mitra cerita) Lakukan juga buddy sharing setelah membaca buku. Minta anak untuk memilih mitra berbagi cerita dari buku yang dibacanya. Mitra cerita bisa merespon dengan bertanya jika ada yang belum dipahami. Atau mitra cerita bisa memberikan umpan balik dari cerita yang didengarnya. Hal ini dimaksudkan agar anak memiliki pemahaman berdasarkan kalimatnya sendiri.
 
4. Bercerita Beri waktu sebelum tidur untuk anak bercerita tentang buku, majalah, koran yang dibacanya hari ini. Beri kesempatan anak dengan kalimatnya sendiri untuk bercerita. Selain itu, bisa juga setelah membaca di kelas, anak dapat bercerita kepada teman-temannya di kelas tentang bacaan yang baru dibacanya, apa yang bisa dipetik dari bacaan yang baru saja dibacanya?
 
5. Permainan olah kata Temukan kata-kata kunci yang ditemukan dalam buku, lalu buatlah menjadi permainan menarik. Misalnya anak membaca buku dongeng tentang kelinci, rubah dan gajah. Lalu anak yang menemukan kata-kata kunci diminta untuk bercerita mengenai tokoh tersebut, apa saja karakter dari tokoh? Apakah tokoh tersebut menarik untuk anak? Mengapa? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan olah kata yang bisa dilakukan agar menarik anak untuk memahami teks.
 
6. Essay questions Gunakan pertanyaan-pertanyaan deskripsi tentang suatu bacaan. Hal ini untuk menilai anak memahami teks yang baru dibacanya ketimbang memberikan pertanyaan seputar bacaan dengan format pertanyaan pilihan ganda atau isian.
 
Semoga bermanfaat

Belajar untuk Mencintai

Jika kalimat ini dibaca tentu akan merasa aneh. Aneh karena mencintai tidak perlu belajar. Aneh karena pada dasarnya manusia sudah memiliki cinta. Aneh karena sejak kecil kita sudah belajar mencintai, keluarga kita yang pertama. Tetapi, pernahkah terpikir oleh kita belajar untuk mencintai meskipun orang itu paling menyebalkan? Belajar untuk mencintai terhadap orang yang kita anggap musuh dan lawan kita, misalnya.

Apakah mungkin kita dapat mencintai orang yang kita anggap musuh kita? Jawabnya adalah mungkin. Apa yang menyebabkan kita menganggapnya sebagai ‘musuh’ berawal dari pikiran atau persepsi kita terhadap orang tersebut dan atau perasaan untuk tidak menerimanya. Bisa jadi musuh karena kita menganggapnya demikian,  karena salah satunya pikiran atau perasaan saja.

Berikut adalah hal-hal yang saya alami untuk dibagikan kepada Anda sebagai sahabat saya tentang belajar untuk mencintai:

1. Penilaian.
Saat pertama, kita berkenalan atau mengenal seseorang untuk pertama kali, hal apa yang terbayang dalam pikiran anda? Sebuah informasi pernah menunjukkan pada saya bahwa kesan pertama terhadap orang lain ditandai oleh ungkapan kita melalui kata sifat seperti cantik, baik, ramah, tampan, menyebalkan, membosankan, dsb. Kata-kata sifat yang diungkapkan pada kita terhadap orang lain bisa menjadi positif atau negatif tergantung bagaimana kita menilai orang tersebut.
Penilaian terhadap orang lain telah membuat kita ‘membutakan’ pengenalan lebih jauh terhadap orang tersebut. Penilaian kita didasarkan pada suka atau tidak. Penilaian kita didasarkan pada unsur subjektivitas kita. Dengan menilai, kita tidak pernah punya gambaran yang tepat mengenai orang tersebut.
Apakah Anda pernah salah mempersepsikan kesan pertama tentang orang lain? Apa yang terjadi setelah Anda tahu bahwa Anda salah? Malu, meyesal, merasa bersalah, dsb adalah hal-hal yang cenderung terjadi. Tapi bagaimana jika penilaian kita benar? Apakah Anda yakin bahwa penilaian itu 100% tentang orang tersebut? Di dunia ini, tidak pernah ada orang yang tepat menilai seseorang selain orang itu sendiri, bahkan alat tes psikologi sekalipun. Bagaimanapun, alat tes atau ramalan hanyalah kecenderungan yang mendekati kepribadian seseorang tetapi bukan menilai seseorang.
Anda memang berhak menilai seseorang. Dengan menilai, Anda cenderung untuk memasukkan orang tersebut dalam ‘kotak penilaian’ anda, termasuk memasukkan dalam ‘kotak lawan atau kotak orang-orang yang tidak disenangi’ atau ‘kotak kawan atau kotak orang-orang yang disenangi. ‘Kotak’ tersebut diciptakan oleh Anda. Kotak itu membelenggu pikiran dan perasaan Anda. Kotak itu akan terus Anda bawa saat Anda bertemu dengan orang itu. Kemanapun Anda pergi, Anda tidak pernah membiarkan orang itu keluar dari ‘kotak’ itu. Ketika orang itu berhasil keluar dari ‘kotak penilaian’ Anda, apa yang terjadi pada Anda?
Ada pepatah mengatakan, Jangan menilai seseorang dari penampilan saja! Tunggu dulu, Anda punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh tidak hanya saat pertama kali. Oleh karena itu, berhentilah membuat penilaian! Penilaian tidak menjamin bahwa kita benar-benar mengetahui 100% orang tersebut.

2. Mereka adalah Berkat buat saya.
Konsep Kawan atau Lawan adalah Berkat buat saya, telah saya terapkan beberapa tahun belakangan ini. Apapun yang terjadi dalam relasi saya dengan orang itu, baik Kawan atau Lawan, tetap menjadikan hidup saya bermakna. Bagaimana menurut Anda? Kok bisa? Pastinya harus bisa.
Anda menganggap orang itu adalah Lawan anda. Dengan merasa menjadi Lawan, Anda belajar untuk mengenal orang itu. Percaya atau tidak, lawan adalah sumber belajar Anda yang paling baik secara spiritual. Banyak hal yang anda pelajari dari orang lain sebagai kawan atau lawan. Namun kita cenderung tidak menyadarinya. Kita hanya menganggap kita dapat berelasi dan menganggap kawan adalah berkat tetapi tidak untuk lawan.
Yang terpenting dari semua ini adalah bukan menentukan siapa kawan dan lawan yang layak untuk ‘Memberkati’ hidup Anda. Lupakan itu! Siapapun yang hadir dalam hidup kita adalah anugerah dari Tuhan supaya kita bisa belajar untuk mencintai meskipun mereka adalah lawan kita.

3. Menerima apa adanya.
Hal yang paling menghambat buat kita mencintai seseorang adalah kesulitan buat kita untuk menerima orang lain apa adanya. Saya pun demikian. Hal itu wajar. Setiap orang berusaha agar memiliki orang yang ‘sempurna’ sesuai dengan harapan mereka sendiri. Kita berusaha menciptakan orang lain sesuai keinginan kita. Kita lupa bahwa setiap orang itu unik.
Menerima apa adanya berarti kita siap untuk menerima segala perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Menerima apa adanya berarti kita siap menerima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki orang lain. Kita tidak memusingkan apa yang dimiliki orang lain. Kita tidak protes terhadap ketidaknyamanan diri kita terhadap orang lain.
Sadar atau tidak bahwa kita akan mencintai seseorang bila mereka adalah orang yang sempurna di mata kita. Kesempurnaan seseorang bukan ukuran cinta. Ukuran cinta adalah menerima orang lain apa adanya secara sempurna.

4. Memaafkannya.
Kita tidak akan pernah mencintai jika kita tidak belajar memaafkannya. Memaafkan tidak selalu diidentikkan saat permusuhan atau menaruh dendam. Memaafkan bisa dilakukan saat kita sulit untuk menerima orang lain apa adanya. Memaafkan bisa dilakukan saat kita kecewa terhadap orang tersebut. Hal mencintai yang paling besar adalah saat kita bisa memaafkan orang lain, dan itu adalah permulaan sebuah cinta.
Dalam memaafkan dibutuhkan kerelaan hati dan pemahaman bahwa setiap orang boleh salah dan berbeda dari kita. Dalam memaafkan dibutuhkan cinta yang lebih besar dari sekedar cinta kita terhadap orang yang kita sukai. Cinta itu dapat tumbuh dengan melepaskan egoisme diri. Cinta dapat muncul ketika hati terbuka dan siap menerima konsekuensi bahwa suatu saat kesalahan dapat terjadi lagi, meskipun kita tidak pernah merencanakan kesalahan itu terjadi lagi. Tuhan sebagai Sumber Cinta, selalu memaafkan kita meskipun kita jatuh dalam kesalahan yang sama.
Ada orang yang memaafkan hanya sekedar basa-basi atau unjuk diri. Namun maaf yang tulus berasal dari hati dan bukan karena permintaan. Memaafkan mengajarkan kita menyadari bahwa setiap manusia butuh cinta. Oleh karena itu, dengan memaafkan kita belajar untuk mencintai.

Refleksi
Sahabat, belajar mencintai itu menggunakan hati bukan pikiran. Belajar mencintai diperlukan pengorbanan perasaan. Belajar mencintai itu memerlukan waktu dan tidak instan. Belajar mencintai diperlukan kesungguhan dan ketekunan. Belajar mencintai baik kawan maupun lawan dan siap menerima orang lain apa adanya.:)

Berhenti Mengeluh


Ternyata menjadi pendengar aktif itu tidak enak juga ya. Saya ingat saya pernah punya teman yang setiap hari selalu mengeluh. Kemarin dia mengeluh hidungnya yang tak mancung, sekarang dia mengeluh pekerjaannya membosankan, besoknya dia mengeluh pasangan hidupnya. Apa saja dikeluhkannya. Saya pun jadi tak nyaman bersamanya.

Jika saya yang dengar saja tidak suka mendengarkan keluhan, kalau begitu mulai sekarang jangan pernah komplen atau mengeluh.

Apa yang menyebabkan orang selalu mengeluh? Rupanya mereka tak pernah ikhlas untuk menerima atau melakukannya. Makanya dia mengeluh.

Nah, akhirnya saya menemukan cara jitu buat saya sendiri agar tidak mengeluh:

1. Berpikir positif. Coba ubah paradigma yang semula merasa “buruk” menjadi baik dan lebih baik. Yakinkan bahwa apa yang dialami diri sendiri juga dialami oleh orang lain. Artinya, semua yang dikeluhkan adalah normal. Anda mengeluh jakarta macet. Seratus persen orang akan menjawab bahwa jakarta memang macet. Jadi buat apa dikeluhkan? Pikirkan hal yang positif bahwa saya terjebak macet karena saya bangun terlambat. Setelah itu, ubah perilaku anda agar tidak mengeluh macet yakni dengan berangkat lebih awal. Masalah selesai.

2. Mengingatkan diri bahwa semua normal. Sebagian besar yang dikeluhkan adalah hal-hal yang sepele. Jika yang dikeluhkan adalah masalah anda dengan bos, toh setiap orang yang bekerja pasti mengalami masalah yang sama. Jika anda mengeluh masalah hidup anda, setiap orang juga punya masalahnya sendiri-sendiri. Apa yang anda keluhkan adalah wajar. Bagaimanapun mengeluh tidak akan mengubah sesuatu. Sesuatu berubah jika anda mengubah cara berpikirnya dan melakukan sesuatu.

3. Apapun yang terjadi, semua akan berlalu. “No matter how bad the day is, it always has to end”. Tidak mungkin seharian anda memikirkan jerawat atau wajah anda yang memang sejak lahir sudah begitu. Jerawat akan sembuh. Tak setiap hari dan orang juga berkomentar tentang wajah anda. Semua akan berlalu. Buat apa meratapi dan mengeluh yang memang anda sudah tahu jawabannya. Jawabannya adalah hidup ini tidak pasti.

4. Daripada memikirkannya lebih baik melakukannya. Apa yang mendasari keluhan anda adalah pikiran anda yang memfokuskannya. Daripada anda memikirkannya lebih baik melakukannya. Anda mengeluh pekerjaan anda yang setumpuk. Alih-alih pekerjaan anda berkurang, yang ada anda menghabiskan waktu hanya mengeluh. Jangan habiskan waktu anda hanya untuk mengeluh. Masalah selesai jika anda berhenti memikirkannya dan mengeluh.

5. Bergaul atau berada di antara orang-orang yang positif, ceria dan selalu bersyukur. Pernah amati jika ada orang yang mengeluh, akan segera diikuti keluhan oleh orang di sekitarnya. Mengapa? Begitulah konformitas. Jadi anda sudah tahu jawabannya agar kita bisa selalu optimis maka bergaullah dan dekatlah dengan orang yang optimis juga. Jika kita berada di pasar ikan, tentu kita juga akan ikut bau ikan. Lingkungan juga mempengaruhi yang mendasari perilaku anda juga, termasuk mengeluh.

6. Alihkan perhatian dan berbuatlah sesuatu. Segera hentikan keluhan anda dengan mengalihkannya pada sesuatu yang lain dan segera kerjakan. Anggaplah tidak ada yang suka mendengarkan keluhan anda. Memang benar begitu. Siapa sih yang suka dengar orang komplen terus?

Komplen atau mengeluh boleh, yang tidak boleh jika terus menerus mengeluh.

Jadi sudahkah anda tersenyum dan bersyukur hari ini? ;)

Dekatkan Diri padaNya, Bahagia Berkelanjutan


(Situasi salah satu gereja katolik di Jakarta, Santa Maria Imaculata . Sumber foto: Dokumen pribadi.) 
(Situasi salah satu gereja katolik di Jakarta, Santa Maria Imaculata . Sumber foto: Dokumen pribadi.)


Bahagia itu sederhana. Bahagia itu mudah. Ada banyak konsep yang bermunculan tentang kebahagiaan dari pengalaman dan pendapat. Mungkin cara berikut bisa ditiru jika ingin bahagia berkelanjutan.

Ahli Epidemiologi Dr. Mauricio Avendano berpendapat bahwa aktivitas keagamaan menjadi satu-satunya kegiatan yang membantu seseorang mencapai kebahagian berkelanjutan. Mengapa? Hasil studi tersebut dilaporkan dalam Jurnal Amerika tentang Epidemiology. Akhir-akhir ini tampak kecenderungan depresi meningkat di wilayah benua Eropa seiring dengan mekanisme bagaimana mengatasi depresi itu. Ada banyak pilihan gaya hidup yang ditawarkan untuk mengatasi problema kehidupan seperti depresi tersebut, misalnya olahraga; melanjutkan pendidikan, kegiatan sukarela atau aktivitas keagamaan.

Studi dilakukan oleh para peneliti di Erasmus MC dan the London School of Economics and Political Science terhadap 9000 orang Eropa yang telah berusia lanjut (diatas usia 50 tahun) selama empat tahun. Studi ini ingin mengetahui berbagai tingkat kegiatan sosial dengan pengaruh suasana hati seseorang.

Hasilnya sungguh mengejutkan di kala kecenderungan orang Eropa sudah mulai meninggalkan rutinitas keagaamaan, studi tersebut malah menunjukkan bahwa aktivitas keagaaman ternyata lebih berdampak positif dan menguntungkan ketimbang kegiatan lain. Padahal studi sebelumnya dikatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam aktivitas keagaaman, klub olahraga, kelompok politik dan kegiatan sukarela memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Kini hasil studi tersebut secara khusus mengungkapkan bahwa pengalaman keagamaan berdampak pada kesehatan mental.

Jadi terbukti bahwa menghadiri misa di gereja, sembahyang di masjid atau pergi ke tempat ibadah ternyata memberikan reward yang tinggi dan manfaat berkelanjutan bagi kesehatan mental seseorang, terutama bagi mereka yang sudah memasuki usia senja.

Bagaimana di Indonesia?


Lebih Banyak mana?

Setiap saya berbicara dengan teman-teman mengenai pengeluaran akhir bulan, selalu muncul perdebatan antara mereka yang sudah menikah dengan orang yang belum/tidak berkeluarga. Jika saya tanya pada teman yang sudah menikah dan berkeluarga, mereka mengatakan kepada saya: “Wah, kamu itu enak belum berkeluarga. Kamu belum berpikir untuk membiayai keluarga. Kamu belum mengeluarkan biaya untuk susu anak atau pendidikan anak.” celetuk seorang rekan yang sudah memiliki 2 anak. Lain lagi dengan teman saya, “Duh, jika boleh mengulang waktu, lebih baik saya menikah jika sudah mapan. Kamu tahu tidak? Hidup berkeluarga itu tidak mudah. Kamu harus menanggung dua orang sekaligus, belum anak. Lalu, kamu harus memenuhi berbagai kebutuhan keluarga.” keluh temanku satu lagi mengenai pengeluarannya di akhir bulan.

Lantas, bagaimana dengan pendapat  teman yang belum menikah tentang pengeluaran mereka? Saya coba bertanya dengan rekan Pria yang belum menikah. “Siapa bilang hidup single itu tidak banyak pengeluaran?. Gaji saya saja dipakai untuk membiayai keluarga. Padahal orangtua saya sudah memiliki penghasilan sendiri dari pekerjaannya dan sewa kontrakan.”

Ada lagi rekan saya yang berpendapat, “Meskipun kita belum menikah, Jeng. Kita masih bertanggungjawab dengan keluarga kita. Lalu, kita harus menanggung biaya hidup kita sendirian. Seandainya kita sudah menikah, toh biaya hidup kita ditanggung berdua dengan suami.”, komentar temanku perempuan yang masih melajang di usianya yang ke-33 tahun.

Saya bingung karena pada dasarnya pendapat teman yang sudah menikah dengan yang belum menikah hampir serupa. Mereka punya banyak alasan mengenai rincian pengeluaran. Saya pun berpikir bahwa menikah adalah solusi keuangan. Artinya, hidup saya terjamin dengan kehadiran suami. Tapi apakah itu benar? Ataukah, apakah asumsi saya itu salah?

Saya memang belum menikah. Rasanya cukup untuk menjadi ‘sandaran’ keluarga. Atau, Tuhan sendiri telah mengatur keuangan kita bahkan menempatkan kita pada posisi pekerjaan yang pas sehingga menyadari bahwa kita masih menanggung biaya hidup keluarga.

Kemarin ketika dinas ke luar kota, saya diantar oleh supir yang disewa oleh Pihak Kantor. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang kondisi ekonomi yang saat ini sedang mengalami krisis. Saya juga bertanya tentang kehidupan supir ini, Apa yang terjadi? Saya terkejut mendengarkan jawabannya. Supir ini memang sudah berkeluarga. Tetapi, ia mengatakan bahwa dengan berkeluarga atau menikah, pengeluaran dapat ditanggung berdua bahkan lebih baik saat kita belum menikah. Segala sesuatu dapat dibicarakan berdua dengan pasangan. Apalagi, saat ini, istripun harus diberi kepercayaan untuk mengelola keuangan dan suami pun dipercayai dalam pekerjaannya.

Di akhir perbincangan kami, saya menyimpulkan bahwa baik hidup melajang atau menikah, Tuhan sudah merencanakan bahwa kehidupan kita cukup, tidak berkekurangan. Jika belum menikah, wajar jika kita berbakti kepada orangtua dengan mendukung keluarga kita secara ekonomi. Sepanjang kita membantu keluarga saat belum menikah, tidak akan membuat kita menjadi miskin. Namun, kita perlu tetap memperhitungkan apa yang menjadi hak kita untuk menabung demi masa depan.

Sementara, bagi mereka yang sudah berkeluarga, kehadiran pasangan akan membantu kita berkompromi dalam mengatur ekonomi bersama. Bersama pasangan, kita dapat merencanakan yang terbaik untuk anak-anak kelak. Tentunya, kepercayaan kepada pasangan dalam mengelola keuangan adalah kunci agar keharmonisan hubungan dapat terus terjalin.

Akhirnya, saya menyadari, bahwa bersyukur adalah kunci semua itu, baik sudah menikah atau belum. Bersyukur akan mampu meruntuhkan kita dari prasangka mana yang lebih baik, melajang atau berkeluarga. Kita tidak akan bisa menghitung secara matematis mengenai pengeluaran yang lebih baik antara sudah menikah atau belum, karena semuanya didasari oleh syukur.:)

Kopi yang Tak Pernah Manis

 
“Yuk kita ngopi” seru abang teman baikku. Abang datang mengajakku ngobrol di warung kopi. Meski warung kopi ini sederhana, entah mengapa ia memuji racikan kopi tempat ini.

“Ok!” sahut sang pelayan yang sepertinya sudah terbiasa menerima order dari abang. Bisa jadi abang sering datang ke kedai ini. Tanpa menyebutkan spesifik kopi yang diminta, si pelayan tahu betul selera abang. Padahal jika melihat daftar menu kedai kopi ini, ada banyak pilihan kopi yang ditawarkan dengan aneka macam rasa dan selera.

Saya bukan penikmat kopi tetapi terpaksa menerima ajakan teman baik untuk singgah sebentar di kedai ini. Bagaimana mungkin pelayan ini tahu selera dan rasa kopi yang diminta oleh saya. Karena saya baru pertama kali datang di kedai kopi tua ini.

Tunggu!” seruku. Aku ingin mengubah pesanan. Pelayan tadi menghentikan langkah dan berbalik ke arah kami.

“Kenapa Jeng?” tanya abang tiba-tiba.

“Bagaimana abang tahu selera dan rasa kopi yang aku minta tanpa bertanya dulu?” hardikku padanya.

“Dengar Jeng! Coba dulu rasa kopi yang aku tawarkan” kata abang.

Hah! Kejutan apalagi ini.

Aku menuruti selera abang kali ini. Aku biarkan pelayan itu pergi membawa orderan kopi yang diminta abang tanpa aku tahu rasa kopi yang aku inginkan.

“Cemilan?” tanya abang padaku. Aku menggelengkan kepala. Aku sedang tidak bergairah dengan aneka makanan. Aku hanya ingin diam.

Tak lama pelayan datang membawakan dua cangkir kopi. Aku biarkan ia menaruh di hadapan kami. Dua kopi hitam. Tak ada cemilan. Tak ada gula. Tak ada creamer. Tak ada susu. Tak ada sendok kecil untuk mengaduk.

“Mengapa abang suka sekali kopi tanpa gula?” tanyaku.

“Simpel saja. Aku suka kopi yang original. Asli. Tanpa campuran. Tanpa rasa,” sahutnya.

Dengan gerak tubuhnya, ia memintaku mencoba kopi tersebut. Aku bereaksi menolak. Tapi ia bersikukuh agar aku mencobanya. Ia mendorong tanganku agar mencoba kopi tersebut.

Slurput. Aku meminum kopi itu. Bukan seleraku. Bukan apa yang aku inginkan. Pahit. Tak ada rasa. Tidak enak. Ini bukan harapanku minum kopi di kedai ini. Aku tak suka.

Seperti biasa abang tertawa melihat reaksi penolakan itu. Ia meminta aku meminum kopi tersebut sampai habis. Baik, cukup sekali aku menurutinya minum kopi yang bukan menjadi seleraku.

Aku marah. Aku protes. Aku kecewa.

Jika setiap orang ditawarkan pada aneka pilihan, mereka cenderung untuk memilih apa yang menjadi selera dan keinginannya. Mereka akan memilih apa yang menjadi harapannya. Memilih berdasarkan pengalaman. Memilh berdasarkan keinginan. Kenyataannya tidak seperti keinginan atau harapan. Padahal sebagian besar hidup yang dijalani berdasarkan kenyataan, bukan harapan atau keinginan.

“Secara nyata kopi itu tanpa rasa, Ajeng” kata abang. “Siapa yang suka dengan rasa kopi seperti ini? Industri kopi mencampurkan aneka varian agar bisa dinikmati banyak orang,” tambahnya.

“Hidup ini adalah kenyataan. Tidak ada rasa. Orang suka sekali mencampurkan “varian rasa” agar bisa menikmati hidup. Akhirnya hidup mereka dikendalikan oleh rasa yang menjadi selera. Mereka menjadi tidak bergairah, kehilangan selera ketika rasa itu hilang. Kenyataannya hidup itu tidak ada rasa, sama seperti kopi.”

Duhh! Apa pula yang diucapkan oleh temanku ini. “Apa maksud abang?” tanyaku penuh selidik.

“Sekali-kali biarkan kamu merasakan rasa asli kopi. Tanpa gula. Tanpa creamer. Tanpa susu. Disitulah khasiat dan manfaat kopi, Jeng” kata abang menutup obrolan siang itu.

Hidup ini sebenarnya soal rasa dan selera. Kebanyakan kita menaruh dan meletakkan begitu banyak keinginan, harapan dan selera yang memenuhi rasanya. Akhirnya begitu bingung dengan aneka pilihan. Hidup itu harus menghidupi. Keluar dari rasa nyaman yang selama ini jadi selera dan pilihan. Itu yang akan menjadi khasiat kehidupan.

Coba rasakan, apa yang terjadi? ;)

Rahasia Resep Perkawinan Ala Kue Coklat Nenek


(Sumber Foto : Dokumen Pribadi) 
(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)

“Semua rahasia kelezatan kue coklat terletak pada peraciknya bukan pada wadah, bahan atau takaran yang diberikan. Jika ingin berhasil membuat kue coklat pastikan bahwa peraciknya membuatnya dengan sabar dan sepenuh hati.”
Sore itu aku berkeinginan membuat kue coklat. Aku tertarik mempraktikkan kue coklat yang biasa dibuat nenek. Mengapa? Kue coklat buatan nenek sungguh berbeda. Rasanya khas dan belum pernah ditemui di toko coklat mana pun. 

Tiba-tiba ibu datang menghampiri aku di dapur. Dilihatnya dapur yang berantakan, serbuk tepung yang kemana-mana serta mukaku yang berantakan. Ia tersenyum melihat wajahku. Aku buru-buru melap wajahku dan memperhatikan kembali catatan resep kue coklat di atas meja. Aku menghafal bahan yang diperlukan dan berapa banyak harus ditaruh dalam adonan tepung. Tepung sudah siap diulenin, aku bergegas meletakkan takaran coklat di dalam adonan.

Aku ingin menunjukkan kepada ibu tentang kemahiranku membuat kue coklat. Aku yakin aku bisa membuat kue coklat yang sama enaknya seperti buatan nenek.

****
Setengah jam berselang setelah adonan kue coklat aku masukkan dalam oven. Hasilnya? Kue coklat itu hangus, tidak enak rasanya dan tidak menarik untuk dilihat. Apa yang terjadi? Aku menangis, marah dan kecewa luar biasa. Aku sudah meluangkan waktu seharian agar dapat membuat kue coklat, mengapa hasilnya tidak seperti yang aku harapkan?

****
Ibu datang menghampiriku. Ia menarik lenganku dan mengajak aku duduk di teras belakang, dekat dapur. Dengan tangannya yang lembut, ia mengusap wajahku yang penuh serbuk tepung dan bubuk coklat. Lalu ia pergi ke dapur. Lima menit kemudian ia datang membawakan secangkir teh manis. Ia memintaku minum teh dan membiarkan aku diam beberapa saat.

Ibu memang paling mengerti apa yang aku rasakan. Aku mulai bercerita tentang kue coklat yang gagal aku buat. Aku bingung dan mulai mencari tahu penyebab kegagalan itu.

****
Kue coklat yang dibuat nenek tentu akan selalu berbeda dengan kue coklat buatanku atau buatan siapapun. Nenek punya resep rahasia. Meski nenek memberitahukan resep rahasia itu padaku, rasa kue coklat itu tetap berbeda. Bahan yang digunakan dan dicampurkan memiliki aturan dan takaran yang disesuaikan setelah adonan demi adonan diaduk. Jadi memang tidak ada aturan baku untuk menaruh tepung, gula atau coklat. Mengapa? Karena semua disesuaikan dengan rasa adonan sebelumnya. Saat memasak, ibu mengatakan bahwa kesabaran diperlukan agar hasilnya baik. Saat di oven, nenek tahu berapa lama harus dipanggang. Ia tidak pernah memberikan waktu yang pas karena ia selalu ingin memastikan adonan kue yang dibuat sesuai dengan berapa lama pemanggangan di oven.

****
Apa kaitan perkawinan dengan resep kue coklat? Semua pasangan selalu berusaha untuk membuat perkawinan yang terbaik dalam hidup mereka, sama ketika mereka akan membuat kue coklat yang terenak. Mereka berpikir resep kue coklat orang lain dapat ditiru dan dipraktikkan dengan hasil yang sama padahal dalam membuat kue coklat, si pembuat selalu memiliki rahasia. Meski rahasia itu dibagikan, maka hasilnya tak pernah sama.

Seperti perkawinan, meski setiap pasangan yang harmonis di dunia ini berhasil membagikan rahasianya, hasilnya tidak bisa diterapkan sama. Mengapa? Semua rahasia kelezatan kue coklat terletak pada peraciknya bukan pada wadah, bahan atau takaran yang diberikan. Jika ingin berhasil membuat kue coklat pastikan bahwa peraciknya membuatnya dengan sabar dan sepenuh hati.

Jangan pernah berpikir waktu menentukan kualitas pemanggangan kue coklat! Kualitas rasa kue coklat ditentukan oleh racikan pembuatnya. Mereka yang mahir membuat kue coklat seperti nenek, tidak suka kue coklat dibandingkan dengan buatan orang lain. Jadi kualitas perkawinan tidak ditentukan dari seberapa lama mereka menikah. Agar perkawinan seperti kue coklat yang terenak, jangan pernah membandingkannya dengan orang lain.

Teruslah berlatih memasak kue coklat karena tidak pernah didapatkan hasil akhir tentang resep kue coklat yang sempurna. Jadi tidak pernah ada resep yang tepat dan sempurna agar memiliki pernikahan yang harmonis.

Nenek bilang variasi dalam membuat kue coklat menentukan rasa dan kualitas kue coklat agar orang yang mencicipinya tidak bosan. Sedari kecil saya melihat nenek selalu membuat kue coklat dengan berbagai macam varian rasa atau hiasan yang menarik untuk dinikmati saat natal tiba. Agar tidak membosankan, buatlah variasi yang mewarnai pernikahan agar bisa dinikmati.
****
Semoga resep kue coklat nenek menginsprasi resep perkawinan yang sesungguhnya. Resep kue coklat itu tak pernah lekang oleh waktu dan tak pernah sempurna.:)

Apakah Cinta itu Ada?

Perbincangan suatu sore antar suami isteri seperti dikutip di bawah ini:

Isteri: Mengapa kamu mencintaiku, mas?

Suami: Mengapa kau bertanya begitu?

Isteri: Aku hanya ingin tahu apa alasanmu mencintaiku.

Suami: Dik, aku tak punya alasan apapun untuk mencintaimu.

Isteri: Mas, aku hanya ingin tahu mengapa kita menikah dan hingga kini terus bersama.

Suami: Dik, aku menikahimu karena aku mencintaimu. Tidak ada alasan mengapa aku mencintaimu karena tidak bisa dijelaskan. Hanya bisa dialami.

Isteri: Apakah itu berarti cintamu padaku begitu besar, mas?

Suami: Cinta yang sesungguhnya itu tanpa ukuran dan tanpa syarat. Cinta adalah nama istilah, sedangkan yang kau butuhkan adalah tindakan atau perwujudan cinta itu.

Isteri: Aku mencintaimu, Mas. Aku membutuhkanmu. Apakah kau juga begitu?

Suami: Aku mencintaimu juga, Dik. Kau membutuhkan diriku, cintaku atau apanya?

Makin bingunglah isteri menjawabnya. Cinta memang tidak bisa didiskusikan. Tidak ada alasan mengapa kau jatuh cinta. Cinta juga tidak perlu dipamerkan atau ditunjukkan.

Kata suami sekali lagi, “Kau tak perlu membuktikan kepada dunia bahwa kau mencintaiku, Dik. Buktikan pada dirimu sendiri bahwa cinta itu ada.”



1 Korintus 13:4-8. Sumber foto: Dokumen pribadi1 Korintus 13:4-8. Sumber foto: Dokumen pribadi

Cerpen : Cinta dalam Secangkir Kopi Panas

sumber foto: dokumen pribadi

“Ayo diminum kopinya. Kalau dingin, rasanya gak enak,” kata ibu penjual warung kopi membuyarkan lamunanku. Slurput. Aku meminumnya seteguk sambil menghisap rokok di tangan kananku. “Kalau ngopi, harus merokok juga ya, nak?” Aku bingung jawabnya.
 
Aku rapikan rok mini yang sedikit terlipat akibat posisi duduk. Aku ambil kaca yang sudah retak untuk lihat warna lipstikku. Aku khawatir rokok membuat bibirku terlihat hitam.
 
“Semua habis berapa, bu?”
 
“Tiga ribu”
 
Sambil mengeluarkan uang dua ribu, aku berusaha merogoh recehan seribu rupiah, ibu tua itu menarik tanganku.
 
“Tinggal dulu di sini kalau urusannya belum jelas” kata ibu tua itu.
 
Ibu tua yang tidak tahu apa yang aku rasa. Kepedihan karena lelakiku yang pergi berkhianat. Kemiskinan sehingga aku tak punya apa-apa. Nasib pula yang menyebabkan aku yatim piatu dan tanpa siapa-siapa di dunia ini.
 
“Tinggal dimana, Nak?”
 
Aku diam. Aku bingung menjelaskannya. Aku tak punya tempat tinggal. Aku sebatang kara karena lelakiku itu.
 
“Hidup itu sudah susah, jangan dibuat susah toh. Gak usah dipikir,” sambung ibu tua itu sekali lagi. Dia seolah membaca raut muka dan kesedihanku. Tak ada yang peduli. Hanya rokok dan kopi yang menemaniku. Kini ibu tua itu begitu peduli padaku.
 
“Jika lelaki itu pergi mengkhianatimu, pergilah kamu dengan melupakannya. Apa pun yang hidup berikan, tidak ada yang abadi. Apa yang kamu genggam, suatu saat akan lepas juga.”
 
Aku mengiyakan. “Apa maksud ibu?”
 
“Sebagai perempuan kita harus pintar memberi kehangatan pada orang yang kita cintai. Kopi yang hangat paling nikmat untuk diminum. Rokok yang menyala paling nikmat untuk dihisap. Begitupun cinta. Jangan biarkan padam apalagi dingin dan mati.” Pernyataan ibu tua itu menusuk sanubariku. Yups, cintaku sudah dingin dan padam hingga lelakiku berkhianat padaku.
 
Berikan kehangatan untuk cinta. Besi yang kuat pun akhirnya meleleh mengikuti kehangatan api.

Makna Doa

Suatu hari saya pergi berbelanja ke Supermarket besar. Saya menjumpai sebuah peristiwa, seorang anak merajuk dan nangis hebat saat meminta mainan. Anak itu berguling-guling, teriak dan nangis karena melihat ayahnya menolak beli mainan yang disukainya. Karena saya suka melihat tingkah pola anak itu yang lucu dan menggemaskan, saya bertanya mengapa sang ayah tidak membelikan mainan tersebut. Saya penasaran. Sang ayah bilang, dia khawatir dengan mainan tersebut yang akan membahayakan anaknya. Tak lama setelah itu, di ujung kasir terdengar suara anak kecil menangis hebat dan si Ibu berusaha menenangkan si anak, anak tersebut tampak meraung memegang matanya, sambil berteriak panas. Rupanya mainan yang baru dibeli terkena matanya. Mainan itu adalah mainan yang akan diminta oleh anak dari si ayah yang sedang berbicara dengan saya barusan. Cepat-cepat si Ayah meraih si anak yang sedang merajuk sambil menjelaskan peristiwa celaka anak di ujung kasir. Anak itu berusaha memahami penjelasan ayahnya sambil melap air matanya dengan wajah sendu. Meski kecewa, anak itu memahami risiko mengapa keinginannya ditolak.

Usai berbelanja, saya menyadari sapaan Tuhan tentang doa yang belum terjawab dengan peristiwa di supermarket tadi. Saya tidak mungkin seperti anak kecil yang menangis, meraung, meratap dan ngamuk karena permintaannya tidak dituruti. Sebagai Bapa yang baik, Dia tidak ingin melihat saya menderita karena permintaan saya sendiri. Sesungguhnya Tuhan punya alasan dari setiap doa kita, terjawab atau tidak, bukan menjadi persoalan.

Makna doa adalah memahami kehendakNya, sabar terhadap apa yang terjadi dan bersikap ‘ dewasa’.  Bapa yang baik tidak akan memberikan kalajengking, ketika anaknya minta telur. Ia memahami apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan oleh kita. Ia tidak ingin kita terluka karena keinginan kita.




Kepercayaan

Love is a trust

Suatu kali karena kendaraan yang saya biasa gunakan rusak, saya meminta adik saya untuk mengantarkan saya pergi ke suatu tempat.saya ingin menghadiri suatu acara dengan cepat karena saya takut terlambat.

Siapa yang tak kenal dengan kemacetan Jakarta yang luar biasa di hari kerja dan jam kerja yang super padat, apalagi arah ke lokasi super super macet. Sepanjang jalan, saya berdoa agar saya bisa sampai di lokasi tepat waktu. Saya pun menjadi tidak konsen karena motor yang dibawa oleh adik saya, menyelip kemacetan Jakarta, melakukan segala macam trik agar bisa melewati lampu hijau dan terus menerabas kemacetan Jakarta. Tentu ini penuh risiko. Tiap kali saya menepuk bahu adik saya, sekedar mengingatkannya. Sangking saya cemas melewati bahaya di jalan raya dan terlalu sering memperingatkannya, Ia pun marah dan membentak saya. Intinya, dia meminta saya untuk percaya bahwa dia pasti akan membawa saya dengan selamat dan tidak usah mengaturnya.

Jep! Percaya. Satu kata dalam hati yang membuat saya diam sesaat dan berdoa dalam hati agar perjalanan saya pun selamat. Seperti yang dia ucapkan, saya pun selamat tiba di lokasi dengan tepat waktu. Saya ucapkan terimakasih karena saya belajar satu hal yang menarik dalam hidup saya saat ini, Percaya.

Saya juga belajar arti kata percaya ketika saya mengamati pola relasi diantara orang-orang disuatu tempat. Saya dijelaskan tentang konsep kepercayaan yang menjadi inti dari suatu relasi, baik relasi antara sesama manusia maupun relasi antara manusia dengan Tuhan.

Jika dikaitkan antara contoh kepercayaan yang saya alami saat saya menjadi penumpang di motor adik saya, kepercayaan ibarat saya memberikan nyawa saya dan meletakkan padanya. Kepercayaan diumpamakan sebagai hidup saya kepada orang yang saya beri kepercayaan.

Kalimat bahwa tidak ada yang paling berharga selain kepercayaan, saya temukan di atas toko emas dan berlian di Jakarta. Saya pikir kalimat tersebut benar adanya. Kepercayaan mahal harganya.

Bagaimana menumbuhkan kepercayaan kepada orang lain, bukan perkara mudah. Jika dalam buku yang pernah saya baca, kepercayaan sudah ditumbuhkan sejak masih bayi, saat kita hadir di tengah-tengah orang yang kita cintai, ibu dan keluarga inti. Tidak mudah kita mempercayai seseorang, apalagi orang yang kita cintai dan sedang tidak bersama dengan kita.

Siapa sih di dunia ini yang ingin mendapatkan celaka? Jika seseorang yang dipercayai telah melanggar kepercayaan yang diberikannya, maka orang yang memberi kepercayaan pun merasa “terluka”. Tidak akan sama lagi relasi yang telah dibangun atas dasar kepercayaan di awal jika seseorang merusak kepercayaan yang diberikannya. Itu lah mengapa kepercayaan manusia ditumbuhkan sejak bayi, saat masih diberi ASI oleh ibu kandung.

Pernahkah Anda berani menceritakan suatu rahasia dalam hidup kepada seseorang yang anda percayai? Jika ya, mengapa Anda lakukan hal tersebut? Jawabannya adalah Anda percaya kepada orang tersebut.

Mendapatkan kepercayaan adalah hal yang istimewa dalam hidup. Tidak semua orang mampu mendapatkan kepercayaan  dari seseorang, apalagi dari orang yang dicintai. Hendaknya kita sadar bahwa kepercayaan yang diberikan dari orang yang dicintai adalah bagian dari hidup, yang karena kepercayaan itu kita bisa terluka atau celaka jika kita melanggarnya.

(Sumber Foto : Dokumen Probadi) 
(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)

Buku Kehidupan

Terkadang saya selalu membayangkan seandainya setiap orang di dunia ini punya kesempatan untuk melihat buku kehidupannya masing-masing, alangkah indahnya kita bisa mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Sayang, kesempatan itu tak pernah ada. Bahkan, Peramal dan Dukun sekali pun hanya bisa memiliki kepekaan di kemudian hari tanpa bisa menebak secara tepat tentang apa yang akan terjadi.

Sungguh, Tuhan benar-benar hebat.

Saya berpikir positif, apa maksud Tuhan sehingga tak ada seorang pun bisa mengetahui buku kehidupan yang telah ditulisnya dengan indah? Mungkin Tuhan tidak ingin kita menjadi cemas akan apa yang akan kita alami karena kita sudah mengetahuinya.

Atau, Tuhan ingin kita mengalami berbagai aneka perasaan dari mulai sedih, senang, terharu, bahagia, cemas, takut, dan perasaan lainnya. Sedangkan, jika kita sudah mengetahuinya, kita tidak akan mengalami aneka perasaan itu. Toh, kita sudah mengetahui apa yang akan terjadi kemudian hari.

Hidup memang diciptakan agar kita mengalami aneka perasaan itu, meski susah sekali pun kita pasti pernah merasa bahagia.

Atau sebaliknya, meski bahagia sekali pun tetapi perasaan sedih pun kita alami.

Jika kita mendapatkan kesempatan untuk membaca catatan Tuhan dalam buku kehidupan kita masing-masing di masa yang pernah kita lalui, kita pasti akan paham maksud Tuhan.

Maksudnya adalah baik buat kita.

Rencana yang dibuatNya adalah terbaik.

Buku kehidupan setiap orang ditulis dengan tinta emas yang diukir oleh tangan Tuhan dengan penuh kasih. Ia tak pernah meninggalkan kita, karena Tuhan menuliskan setiap saat apa yang telah dan akan kita alami.

Kelak, jika kita sudah mengakhir buku kehidupan kita, kita akan membaca dan merasa bersyukur bahwa kita pernah ada dan mengalami semuanya baik suka maupun duka. :) :)

Monolog : Menunggu

Perempuan      : “Aku bosan menunggu. Pekerjaan yang paling membosankan itu adalah   menunggu. Tak pasti, aku tak suka itu.”


Malaikat          : “Sabarlah sayang. Kau tahu saatnya kan tiba.”


Perempuan      : “Sabar, Sabar, Sabar. Sampai kapan sabar? Sudah habis kesabaranku.”


Malaikat          : “Menunggu itu adalah sebuah proses untuk menguji kesabaran setiap orang. Jika kamu bisa melewatinya, buah dari kesabaran itu adalah harapan. Percayalah.”


Perempuan      : “Aku benci untuk bersikap sabar. Aku masih punya harapan kok. Hanya saja, aku bosan. Kau tahu, bahwa aku adalah perempuan super sibuk. Menghabiskan hari dengan bekerja, berpergian, beraktivitas dengan teman-temanku, menikmati dunia dengan aneka kesukaanku. Sekarang, aku harus menunggu tanpa aku tahu mau dibawa kemana semua ini.”


Malaikat          : “Karena itu, Tuhan membuatmu melakukan hal yang tidak kau sukai. Menunggu. Suka atau tidak, menunggu adalah bayaran atas perbuatan super sibuk yang kamu lakukan selama ini. Kau berpikir bahwa dunia sudah kau atur menurut kehendak dan rencanamu. Kau dipenuhi dengan target-target. Kau lupa bahwa Tuhan adalah penentu dari target dan rencanamu. Ingat, kau hanya berencana tetapi Tuhan yang menentukan. Menunggu itu menguji kesabaranmu atas apa yang kamu alami dan menguji keberanianmu terhadap apa yang akan terjadi secara tiba-tiba.”


Perempuan      : “Ya, benar. Aku memang tidak sabar, ingin serba cepat. Aku tak suka untuk bekerja lamban. Aku memang dipenuhi rencana-rencana. Bagaimana mungkin hidup tanpa rencana?”


Malaikat          : (tertawa) “Apakah kau berpikir hidup tanpa rencana, seseorang tidak bisa hidup? Hidup dengan rencana dan target adalah baik, tetapi lebih baik untuk tidak ‘dihidupi’ oleh target sehingga kau akan frustrasi jika tak mampu melakukannya. Waktu adalah Sang Penguasa dari target dan rencana. Tuhan adalah tuan dari waktu. Jangan paksa Tuhan untuk menentukan target dan rencana! Biarkan semua mengalir apa adanya!”


Perempuan      : “Bagaimana caranya agar bisa menunggu dengan lebih berkualitas? Bagaimana caranya untuk membiarkan semua mengalir apa adanya? Bagaimana caranya agar aku tak merasa bosan dengan menunggu?”


Malaikat          : “Pikiranmu yang membuat hidupmu semakin rumit. Hidup itu sederhana. Menunggu juga sederhana. Sederhana saja, pasrahkan kepada Tuhan yang empunya segalanya, termasuk waktu. Saat kau pasrah, kau sungguh menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan kepada alam raya. Tak usahlah kau rumitkan dengan kalimat menunggu yang berkualitas. Ukuran kualitas ditentukan oleh manusia, Tuhan tak pernah menentukan buruk dan baik. Biarkan Tuhan yang mengatur! Saat kau kehilangan kendali, tak tentu arah, berdoalah dalam hatimu, dimana Tuhan ada agar Ia menuntunmu.”


Perempuan      : “Baiklah, menunggu bukan hal yang baik untuk dilakukan. Tak pasti. Jika aku tahu seperti ini, aku akan membuat rencana-rencana alternatif hingga waktu tak terbuang percuma. Jika aku bisa mengulang waktu, pasti tidak ada lagi yang namanya menunggu.”


Malaikat          : (tertawa) “Manusia sudah terbentuk oleh namanya budaya instan. Ingin langsung jadi, tanpa mengetahui bahwa keindahan dari sebuah proses. Menunggu adalah sebuah proses bukan hasil. Kau menikmati hasil tetapi kau tidak menyukai proses. Jika kau merenungi saat mendapatkan hasil, kau akan tahu bahwa disitulah Tuhan bekerja dengan cara yang indah, termasuk sang waktu. Kau terlalu dipenuhi oleh aneka rencana. Hidup yang terencana hanya mengekang kebebasanmu dan melupakan kondisi alam raya. Apakah terjadinya musibah, sudah menjadi rencana? Siapakah yang membuat rencana, jika seorang manusia itu lahir atau mati, seseorang itu  hidup berkelimpahan atau hidup dalam kesusahan? Rencana itu baik, karena membantumu untuk mengarahkan kepada kebaikan hidup, tetapi bukan membatasi hidup. Satu lagi, tak ada waktu terbuang percuma. Manusia saja yang berpikir dan tak bisa memanfaatkan waktu yang diberikan. Waktu yang diberikan setiap manusia di dunia ini adalah sama, tak ada yang berbeda. Yang berbeda adalah bagaimana kau menghargai setiap detik yang berharga yang diberikan Tuhan.”


Perempuan      : “Apakah menunggu juga sesuatu yang berharga?”


Malaikat          : “Menunggu tetap sebuah proses yang berharga. Manfaatkan waktu menunggu dengan mengenali sekitarmu, mengidentifikasikan tujuanmu, menyadari sekelilingmu, menikmati detik demi detik dan bersyukur bahwa kelak hadiah dari menunggu itu akan datang. Tuhan akan membayar sebagaimana waktu kan tiba.”


– Di tepi penantian –

Cerpen : Sang Waktu

Hampir dua tahun, waktu berjalan mengiringi hati ini bersama orang yang paling aku sayangi. Jawabnya tetap bisu. Ia menginginkan hidupku sebagaimana aku menginginkan ia dalam pelukanku seumur hidupku. Cinta tak pernah salah. Itu yang terjadi antara aku dengannya. Malaikat dan Iblis kerap datang bersama kami, saat berdua.

Aku jatuh cinta, selalu. Jatuh cinta tiap ia memanggil namaku. Jatuh cinta setiap ia membayangkanku dalam genggaman Iblis. Jatuh cinta setiap kusebutkan namanya dalam doa, bersama malaikat. Jatuh cinta setiap meminta Tuhan agar selalu bersama kami. Jatuh cinta saat perdebatan diantara kami meruncing menjadi nafsu dan fantasi liar semata. Jatuh cinta.

Mengenalnya sebentar dan jatuh cinta kemudian, bukan perkara mudah buatku. Baginya, aku adalah malaikat kebaikan, yang tak boleh tersentuh oleh noda Iblis, meski kerap ia menginginkannya.

Perjumpaan dengannya, membuatku sadar bahwa cinta memiliki tiga kata kunci, seperti teori triangular love yang pernah kuketahui adalah, Passion; Commitment and Intimacy. Kami punya keduanya, tapi tidak untuk commitment. Pikirannya yang idealis dan tak ingin menyakiti pihak mana pun, membuatku sadar bahwa ia lelaki sempurna. Bahkan saat dia harus berjuang melawan penyakitnya sendiri. dia rela mengorbankan perasaanya menutupnya dengan rapih demi tidak ingin melihatku bersedih dan khawatir kalau aku tau yang sebenarnya.

Baru kali ini, aku sadar, aku jatuh cinta pada lelaki luar biasa ini. Lelaki sederhana, tak suka menganggungkan diri, sabar dan mengerti apa yang aku butuhkan. Bagiku, ia hanya dalam benak dan hati, tanpa bisa aku miliki sepenuhnya jiwa dan raga. Lelaki sejati yang kerap menjadi mimpi-mimpiku yang hadir setiap aku menuliskan cerita-cerita cinta yang pendek, dalam benakku.

Lelaki itu ada. Dunia menantang kami. Itu penderitaan. Tetapi, tantangan itu yang membuat kami bertahan hingga kami sadar bahwa cinta tak harus memiliki tapi selalu membahagiakan. Hanya dia milikku saat ini. Meski waktu kadang tak adil bagi kami, namun Dewi Amor selalu setia menyatukan hasrat kedua insan yang dimabuk gelora asmara, aku dan lelaki ini.

Dia adalah curahan hatiku, tempat aku berkeluh kesah tentang hidup ini. Tempat bersandar, saat aku menderita karena cinta dari orang lain. Tempatku mengadukan harapan dan mimpi. Tempatku berbagi kesenangan dan kedukaan. Tempatku melabuhkan malaikat dan iblis dalam hatiku.

Aku mencintainya. Ia pun demikian.

Sayang, Tuhan segera mengambil milikku yang paling indah ini. Mengapa???

Telah lama, sang waktu iri dengan kebersamaan kami dan memisahkan kami berdua dengan kesibukan duniawi, yang melupakan hasrat kami. Sang waktu mempertemukan kami dengan kesedihan. Sore hari yang kelabu buatku.

Entah jika sang waktu dan Tuhan bekerjasama dengan baik, mungkin ia tak akan lama lagi mencecap indahnya dunia ini. Tak adil rasanya, saat aku baru saja menikmati indahnya cinta dari lelaki sejati yang selama ini aku sayang. Tak mudah buatku berpaling dari lelaki ini.

Jika dulu, Tuhan mengambil lelakiku untuk menjadi PelayanNya di dunia. Kini Tuhan pula yang akan segera mengambil lelakiku untuk menjadi PelayanNya di surga. Lelaki rendah hati dengan jiwa melayani akan segera pergi, dalam hitungan sang waktu, yang bisa saja bersama maut akan pergi menjemputnya. Tak adil.

Benar, bahwa sebagian besar dari apa yang kita jalani di dunia ini adalah segala sesuatu yang tak pernah menjadi kehendak kita, supaya kita mengerti betapa indah rencana Tuhan. Tapi rencana indah ini, tak pernah bisa aku mengerti.

Lelaki sejati itu membiarkan diriku, dalam kesedihan. Lelaki sejati itu, memintaku untuk mengaburkan mimpi kami ke depan. Lelaki sejati itu, memilih kebahagian dengan membiarkan aku bersama dengan yang lain. Tak adil.

Lelaki itu meminta sang waktu, agar membolehkanku untuk melihat kebahagiaan ada bersamaku. Tak mungkin. Tak mudah juga.

Sang waktu, aku ingin memintamu bersikap adil terhadap cinta. Sang waktu, aku ingin kau berpihak padaku dan padanya. Sang waktu, aku ingin rajutan cinta itu kembali tersulam dengan baik, meski bukan bersamanya. Sang waktu, aku ingin kau tahu bahwa cinta yang tulus adalah pengorbanan saat kita bisa memberikan yang terbaik buat orang yang dikasihinya. Sang waktu, aku ingin engkau tetap menjaganya hingga engkau pun membuatku dan dia bahagia dengan sulaman kasih yang terpisah oleh takdir.

Sang waktu, bekerjalah bersama takdir. Tak ada yang mustahil atas nama cinta. Aku ingin bersamanya untuk terakhir kalinya.

Hanya waktu yang dapat membawanya kembali sebagai pribadi yang penuh kenangan, meski ia telah pergi. Waktu telah membawanya pergi. Namun waktu pula, yang akan menjawab seberapa besar nilai cinta itu.

Sunday, March 25, 2018

Lelucon Pernikahan

Isteri : “Sedang cari apa, Pah? Sibuk banget. Sini mama bantu.”

Suami : “Aku lagi cari itu.”

Isteri : “Cari apa?”

Suami : “Surat nikah”

Isteri : “Surat nikah? Memang kenapa dengan surat nikah kita, Pah?”

Suami : “Itu ma. Aku mau cek sampai kapan batas menikahnya kayak yang di KTP itu.”

Isteri : #@$@#$ (*gubraks)

Menikah adalah pilihan hidup yang tidak ditentukan. Saya yakin setiap pasangan yang akan menikah tidak pernah memikirkan kapan dan bagaimana bila bercerai, kecuali pernikahan kontrak yang memang tidak dilandasi cinta tetapi dilandasi kepentingan tertentu. Jelas ini berbeda.

Pernikahan dilandasi elemen cinta, komitmen, passion, dan kepercayaan yang menguatkan pilihan tersebut. Kepercayaan dan komunikasi adalah modal utama pernikahan.

Teman saya yang merupakan petugas pencatatan sipil berasumsi bahwa pasangan suami isteri yang mengalami percekcokan dalam rumah tangga lebih memilih jalan perceraian ketimbang mempertahankan pernikahan. Apa yang terjadi? Masing-masing masih memikirkan diri sendiri.

Untuk membahas ego pribadi, simak lelucon berikut:

Pastor : “Baiklah, kalian sudah dipersatukan menjadi suami isteri sekarang. Suami, jangan pernah memikirkan dirimu sendiri lagi.”

Suami : “Baik, Pastor. Mulai sekarang saya akan memikirkan isteri saya.”

Pastor : “Tidak, bukan begitu jawabannya. Isteri, mulai sekarang jangan pernah memikirkan suamimu lagi.”

Isteri : “Hah. Pastor aneh. Suami saya tidak boleh memikirkan diri sendiri dan saya. Saya juga.”

Pastor : ” Mulai sekarang kalian tidak lagi memikirkan diri sendiri, suami atau isteri tetapi ‘kita’.”

Anda paham maksud saya. Setelah menikah, anda bukan lagi dua tetapi satu. Mereka yang siap menikah memikirkan bagaimana masa depan “kita” anda dan pasangan hidup anda?

Mereka yang sudah menikah membentuk tanggungjawab baru menjadi keluarga dengan kehidupan bersama. Jika tidak bisa memikul tanggungjawab bersama berarti anda masih melajang. Menikah berarti “sama-sama bekerja” karena baik suami maupun isteri sama-sama memiliki peran untuk bekerja membentuk keluarga. :)

Menemukan Kedamaian di Siang Bolong

 Sumber foto: Dokumen pribadi
Seorang oma duduk di hadapanku siang itu. Ia seperti memerlukan bantuan untuk menulis sesuatu di kartu pos yang akan ditulisnya. Aku memang sedang berada di kantor pos yang menjadi landmark kota. Aku mampir sebentar untuk mengambil gambar yang menurutku menarik untuk dijadikan objek foto. Selang beberapa lama aku duduk, oma tersebut duduk bersebelahan denganku dan mengaduk-aduk tasnya seperti mencari sesuatu. Aku ingin membantunya, tetapi sepertinya ia sudah menemukan pena yang dicarinya.

“Please, help me dear!” seru oma itu menarik tanganku. Ia bisa berbahasa inggris rupanya. Hebat! Ia meminta bantuanku untuk menuliskan kalimat di kartu pos sebelum dikirimnya. Aku langsung mengiyakan dan duduk di sebelahnya. Di jaman komunikasi dua jari seperti ini, masih ada seorang nenek yang berkirim pesan lewat kartu pos. Aku mengaguminya. Mungkin kalimat itu penting sehingga perlu dikirim dalam kartu pos, pikirku.
Anda tahu, apa yang harus aku tulis dalam kartu pos itu?

“You’ll never find a peace in outside world unless you find it inside yourself first” aku menulis kalimat tersebut dalam kartu pos bergambar panaroma alam. Sebelum tandatangan dibubuhkannya dalam kartu pos itu, ia memintaku menuliskan, “with love, your grandma” di bawah kalimat tersebut. Aku mengiyakan kembali.

Ketika aku akan berpamitan pulang, nenek itu mengatakan dengan aksen bahasa inggris yang bagus sekali agar aku tetap tinggal sementara ia mengeposkan kartu tersebut. Lagi-lagi aku menuruti meski aku akan menolak jika ia ingin memberikan imbalan padaku karena membantunya.

Setengah jam berlalu, oma datang dengan wajah berseri-seri . Sepertinya ia berhasil mengirimkan kartu pos itu. Ia mulai menyelediki diriku dengan beberapa pertanyaan standar seperti darimana asalku, mengapa aku ada di sini, dsb.

****
Siang itu, seorang oma mengajariku tentang kedamaian seperti yang aku rangkum berikut:
  1. Tidak pernah mencemaskan apa yang sudah terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa depan. Biarkanlah masa lalu menjadi kenangan dan masa depan tumbuh jadi harapan! Mereka yang penuh kedamaian paham betul bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan yang tidak mungkin untuk bisa kembali lagi, sementara destinasi kita masih jauh di hadapan.
  2. Jika kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, bagaimana bisa kita berdamai dengan orang lain. Luangkan waktu sejenak untuk menemukan kedamaian dalam diri dengan meditasi, berdoa, menulis buku harian, dsb. Lakukan “me time” yang membuat anda merasa nyaman dan menyenangkan diri sendiri.
  3. Berhentilah berpikir yang berlebihan tentang sesuatu hal, biarkan semua terjadi apa adanya! Pikiran “monyet” yang selalu melompat ke sana kemari adalah salah satu yang acapkali dialami saat kita mengambil waktu untuk merenung. Hey, setiap orang selalu punya masalah. Setiap rencana tidak selalu berjalan mulus. Beri motivasi diri sendiri bahwa segala sesuatu tidak pernah berjalan dengan sempurna, hambatan atau kendala adalah wajar.
  4. Kedamaian tidak terletak pada pikiran atau perasaan tetapi pemahaman. Jika kita sudah berhasil memahami apa pun yang terjadi, kita akan tahu bagaimana arti damai sesungguhnya.
Bagaimana kedamaian menurut anda sendiri?

Merenungi diri

“Sungguh aku tidak tahu jalan mana yang harus kupilih” keluhku. Perempuan itu berjalan terus dan meraba-raba setiap benda yang disentuhnya. “Aku buta, aku menyerah, tolong bantu aku!” pintanya sekali lagi.
 
“Jangan menyerah, kamulah yang menemukan tujuanmu!” kata suara itu.
 
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Perempuan itu menyahut sambil terus berjalan. “Mengapa jalan yang kulalui penuh rintangan?”.
 
“Dengar hai Perempuan, kau harus mendengarkan suara hatimu. Dengarlah suara hatimu dalam keheningan, bukan keluh kesahmu. Disitulah kau menemukan dirimu yang selaras dengan pikiran dan perasaanmu.” kata suara itu sekali lagi.
 
Perempuan itu diam. Suasana hening. Tidak ada suara. “Hm, tidak ada pilihan. Jalan yang aku lalui ini penuh rintangan. Sia-sia.” sahut perempuan itu tiba-tiba.
 
Suara itu pun menyahut, “Jika jalan yang kau tempuh bebas dari rintangan, jalan itu tidak berguna. Kau harus membuka dirimu terhadap alam semesta. Yang harus kau miliki adalah keyakinan maka mereka akan menopangmu. Pilihlah jalanmu, bertindaklah sekarang. Saat ini adalah waktu yang tepat.”
 
“Darimana aku harus memulainya?” tanya Perempuan itu sekali lagi.
 
Suara itu menjawab, “Mulailah dari tempatmu ini berada dan bersiaplah untuk kecewa. Sebab, jalan yang kau lalui, tidak selamanya mulus.”

Kepercayaan


(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)
‘Nothing is a quite precious as trust’. Saya temukan kalimat tersebut di atas toko berlian atau emas di suatu kota. Terhenyak saya memikirkan kalimat tersebut. 
 
Benar, bahwa jika kertas yang semula mulus seperti kertas baru, tak ada ‘cacat’ di sana sini tetapi jika kertas itu kita remukkan dengan satu tangan atau dibuat lecek, maka belum tentu kertas tadi akan kembali seperti kertas yang semula mulus. Kertas meski kita gosok menggunakan tangan tidak akan mengembalikan kertas seperti semula. Begitulah kepercayaan. Ketika kepercayaan yang sudah kita berikan kepada seseorang diremukkan ibarat dirusak,kepercayaan kita kepadanya tidak akan kembali seperti semula.
 
Seperti kalimat saya yang pertama tadi, kepercayaan adalah hal yang sungguh berharga. Ibarat cincin berlian sebagai perlambang kepercayaan dua orang dalam perkawinan. Kepercayaan mahal harganya. Mempercayai berarti kita memberikan tanggungjawab kepada yang bersangkutan, pasrah dan menaruh harapan. Diberi kepercayaan pun tidak mudah, terkadang kita memerlukan pengorbanan.
 
Setiap orang diberi kepercayaan di dunia ini oleh Tuhan untuk mempertanggungjawabkan hidupnya. Hidup itu luar biasa. Manfaatkan kepercayaan ini untuk hal baik. Jika hal baik mudah dilakukan, mengapa harus mencari yang jahat. Kepercayaan tidak bisa dibeli.
 
Manfaatkan kepercayaan yang diberikan oleh siapa saja dalam hidup ini, artinya kita bisa setia terhadap perkara yang diberikan.

Sekali Lagi Sikap, Bukan Waktu

Minum teh bersama. Sumber foto: Dokumen pribadi
Percapakan ibu dan seorang anak saat minum teh di sore hari, berikut:
 
Anak : Bu, apa yang paling jahat di dunia ini?
 
Ibu : Apa maksudmu, nak?
 
Anak : Kemarin ibu guru di sekolah mengajarkan bahwa kita tidak boleh sombong. Karena jika sombong berarti kita telah berbuat jahat. Jadi orang yang sombong berarti orang yang jahat. Betul begitu, bu?
 
Ibu : Ya bisa dikatakan begitu. Karena apa pun yang jahat berasal dari kesombongan kita sebagai manusia.
 
Anak : Mengapa orang itu sombong, bu?
 
Ibu : Karena mereka yang sombong adalah mereka yang ingin menunjukkan kekuasaan dan apa yang dimilikinya. Jadi, jangan pernah bersikap sombong! Perilaku itu tidak disukai Tuhan, nak.
 
Anak : Aku punya teman di kelas yang suka disebut ‘anak sombong’. Ia suka bercerita ini itu dan suka membanggakan dirinya. Ia suka pamer apa yang dipunyai. Ternyata orang yang sombong tidak disukai ya, bu?
 
Ibu : Betul, nak. Kesombongan berawal dari sikap. Ubahlah sikapmu jadi rendah hati agar teman-teman suka bergaul denganmu.
 
Anak : Jadi yang menentukan kesombongan seseorang adalah sikapnya ya, bu?
 
Ibu : Ya, betul. Tidak ada yang patut disombongkan di dunia ini. Semua itu milik Tuhan. Apa yang membedakan orang sombong dan tidak sombong adalah sikapnya.
 
Anak : Ibu benar. Aku tidak pernah berteman dengan temanku yang sombong itu. Aku pikir suatu saat waktu akan mengubah orang sombong sehingga ia tidak sombong lagi.
 
Ibu : Nak, kamu harus tetap berteman dengannya. Bukan waktu yang mengubah orang sombong, tetapi sikap. Tunjukkan bahwa sikapmu bukan seperti orang sombong.
 
Akar kejahatan di dunia adalah kesombongan manusia karena mereka ingin pamer kekuasaan dan apa yang dipunyai. Mereka begitu inferior sehingga terlihat superior. Mereka ingin populer terhadap apa yang mereka miliki dan tunjukkan karena itu adalah eksistensi mereka.
 
Tetaplah santun dan rendah hati karena dengan begitu kita selalu bisa melihat ke atas, Sang Pencipta, Yang Punya Segala. Manusia yang hebat bukanlah mereka yang suka pamer apa kemampuannya atau kekuasaannya, tetapi yang hebat adalah saat mereka mampu mengalahkan diri sendiri, keangkuhannya.
 
Secangkir teh di sore hari