
“Yuk kita ngopi” seru abang teman baikku. Abang datang mengajakku ngobrol di warung kopi. Meski warung kopi ini sederhana, entah mengapa ia memuji racikan kopi tempat ini.
“Ok!”
sahut sang pelayan yang sepertinya sudah terbiasa menerima order dari
abang. Bisa jadi abang sering datang ke kedai ini. Tanpa menyebutkan
spesifik kopi yang diminta, si pelayan tahu betul selera abang. Padahal
jika melihat daftar menu kedai kopi ini, ada banyak pilihan kopi yang
ditawarkan dengan aneka macam rasa dan selera.
Saya bukan
penikmat kopi tetapi terpaksa menerima ajakan teman baik untuk singgah
sebentar di kedai ini. Bagaimana mungkin pelayan ini tahu selera dan
rasa kopi yang diminta oleh saya. Karena saya baru pertama kali datang
di kedai kopi tua ini.
“Tunggu!” seruku. Aku ingin mengubah pesanan. Pelayan tadi menghentikan langkah dan berbalik ke arah kami.
“Kenapa Jeng?” tanya abang tiba-tiba.
“Bagaimana abang tahu selera dan rasa kopi yang aku minta tanpa bertanya dulu?” hardikku padanya.
“Dengar Jeng! Coba dulu rasa kopi yang aku tawarkan” kata abang.
Hah! Kejutan apalagi ini.
Aku
menuruti selera abang kali ini. Aku biarkan pelayan itu pergi membawa
orderan kopi yang diminta abang tanpa aku tahu rasa kopi yang aku
inginkan.
“Cemilan?” tanya abang padaku. Aku menggelengkan kepala. Aku sedang tidak bergairah dengan aneka makanan. Aku hanya ingin diam.
Tak
lama pelayan datang membawakan dua cangkir kopi. Aku biarkan ia menaruh
di hadapan kami. Dua kopi hitam. Tak ada cemilan. Tak ada gula. Tak
ada creamer. Tak ada susu. Tak ada sendok kecil untuk mengaduk.
“Mengapa abang suka sekali kopi tanpa gula?” tanyaku.
“Simpel saja. Aku suka kopi yang original. Asli. Tanpa campuran. Tanpa rasa,” sahutnya.
Dengan
gerak tubuhnya, ia memintaku mencoba kopi tersebut. Aku bereaksi
menolak. Tapi ia bersikukuh agar aku mencobanya. Ia mendorong tanganku
agar mencoba kopi tersebut.
Slurput. Aku meminum
kopi itu. Bukan seleraku. Bukan apa yang aku inginkan. Pahit. Tak ada
rasa. Tidak enak. Ini bukan harapanku minum kopi di kedai ini. Aku tak
suka.
Seperti biasa abang tertawa melihat reaksi penolakan
itu. Ia meminta aku meminum kopi tersebut sampai habis. Baik, cukup
sekali aku menurutinya minum kopi yang bukan menjadi seleraku.
Aku marah. Aku protes. Aku kecewa.
Jika
setiap orang ditawarkan pada aneka pilihan, mereka cenderung untuk
memilih apa yang menjadi selera dan keinginannya. Mereka akan memilih
apa yang menjadi harapannya. Memilih berdasarkan pengalaman. Memilh
berdasarkan keinginan. Kenyataannya tidak seperti keinginan atau
harapan. Padahal sebagian besar hidup yang dijalani berdasarkan
kenyataan, bukan harapan atau keinginan.
“Secara nyata
kopi itu tanpa rasa, Ajeng” kata abang. “Siapa yang suka dengan rasa
kopi seperti ini? Industri kopi mencampurkan aneka varian agar bisa
dinikmati banyak orang,” tambahnya.
“Hidup ini adalah
kenyataan. Tidak ada rasa. Orang suka sekali mencampurkan “varian rasa”
agar bisa menikmati hidup. Akhirnya hidup mereka dikendalikan oleh rasa
yang menjadi selera. Mereka menjadi tidak bergairah, kehilangan selera
ketika rasa itu hilang. Kenyataannya hidup itu tidak ada rasa, sama
seperti kopi.”
Duhh! Apa pula yang diucapkan oleh temanku ini. “Apa maksud abang?” tanyaku penuh selidik.
“Sekali-kali biarkan kamu merasakan rasa asli kopi. Tanpa gula. Tanpa creamer. Tanpa susu. Disitulah khasiat dan manfaat kopi, Jeng” kata abang menutup obrolan siang itu.
Hidup
ini sebenarnya soal rasa dan selera. Kebanyakan kita menaruh dan
meletakkan begitu banyak keinginan, harapan dan selera yang memenuhi
rasanya. Akhirnya begitu bingung dengan aneka pilihan. Hidup itu harus
menghidupi. Keluar dari rasa nyaman yang selama ini jadi selera dan
pilihan. Itu yang akan menjadi khasiat kehidupan.
Coba rasakan, apa yang terjadi? ;)
No comments:
Post a Comment