Jika kalimat ini dibaca tentu akan merasa aneh. Aneh karena mencintai
tidak perlu belajar. Aneh karena pada dasarnya manusia sudah memiliki
cinta. Aneh karena sejak kecil kita sudah belajar mencintai, keluarga
kita yang pertama. Tetapi, pernahkah terpikir oleh kita belajar untuk
mencintai meskipun orang itu paling menyebalkan? Belajar untuk mencintai
terhadap orang yang kita anggap musuh dan lawan kita, misalnya.
Apakah
mungkin kita dapat mencintai orang yang kita anggap musuh kita?
Jawabnya adalah mungkin. Apa yang menyebabkan kita menganggapnya sebagai
‘musuh’ berawal dari pikiran atau persepsi kita terhadap orang tersebut
dan atau perasaan untuk tidak menerimanya. Bisa jadi musuh karena kita
menganggapnya demikian, karena salah satunya pikiran atau perasaan
saja.
Berikut adalah hal-hal yang saya alami untuk dibagikan kepada Anda sebagai sahabat saya tentang belajar untuk mencintai:
1. Penilaian.
Saat
pertama, kita berkenalan atau mengenal seseorang untuk pertama kali,
hal apa yang terbayang dalam pikiran anda? Sebuah informasi pernah
menunjukkan pada saya bahwa kesan pertama terhadap orang lain ditandai
oleh ungkapan kita melalui kata sifat seperti cantik, baik, ramah,
tampan, menyebalkan, membosankan, dsb. Kata-kata sifat yang diungkapkan
pada kita terhadap orang lain bisa menjadi positif atau negatif
tergantung bagaimana kita menilai orang tersebut.
Penilaian
terhadap orang lain telah membuat kita ‘membutakan’ pengenalan lebih
jauh terhadap orang tersebut. Penilaian kita didasarkan pada suka atau
tidak. Penilaian kita didasarkan pada unsur subjektivitas kita. Dengan
menilai, kita tidak pernah punya gambaran yang tepat mengenai orang
tersebut.
Apakah Anda pernah salah mempersepsikan
kesan pertama tentang orang lain? Apa yang terjadi setelah Anda tahu
bahwa Anda salah? Malu, meyesal, merasa bersalah, dsb adalah hal-hal
yang cenderung terjadi. Tapi bagaimana jika penilaian kita benar? Apakah
Anda yakin bahwa penilaian itu 100% tentang orang tersebut? Di dunia
ini, tidak pernah ada orang yang tepat menilai seseorang selain orang
itu sendiri, bahkan alat tes psikologi sekalipun. Bagaimanapun, alat tes
atau ramalan hanyalah kecenderungan yang mendekati kepribadian
seseorang tetapi bukan menilai seseorang.
Anda
memang berhak menilai seseorang. Dengan menilai, Anda cenderung untuk
memasukkan orang tersebut dalam ‘kotak penilaian’ anda, termasuk
memasukkan dalam ‘kotak lawan atau kotak orang-orang yang tidak
disenangi’ atau ‘kotak kawan atau kotak orang-orang yang disenangi.
‘Kotak’ tersebut diciptakan oleh Anda. Kotak itu membelenggu pikiran dan
perasaan Anda. Kotak itu akan terus Anda bawa saat Anda bertemu dengan
orang itu. Kemanapun Anda pergi, Anda tidak pernah membiarkan orang itu
keluar dari ‘kotak’ itu. Ketika orang itu berhasil keluar dari ‘kotak
penilaian’ Anda, apa yang terjadi pada Anda?
Ada
pepatah mengatakan, Jangan menilai seseorang dari penampilan saja!
Tunggu dulu, Anda punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh tidak
hanya saat pertama kali. Oleh karena itu, berhentilah membuat penilaian!
Penilaian tidak menjamin bahwa kita benar-benar mengetahui 100% orang
tersebut.
2. Mereka adalah Berkat buat saya.
Konsep
Kawan atau Lawan adalah Berkat buat saya, telah saya terapkan beberapa
tahun belakangan ini. Apapun yang terjadi dalam relasi saya dengan orang
itu, baik Kawan atau Lawan, tetap menjadikan hidup saya bermakna.
Bagaimana menurut Anda? Kok bisa? Pastinya harus bisa.
Anda
menganggap orang itu adalah Lawan anda. Dengan merasa menjadi Lawan,
Anda belajar untuk mengenal orang itu. Percaya atau tidak, lawan adalah
sumber belajar Anda yang paling baik secara spiritual. Banyak hal yang
anda pelajari dari orang lain sebagai kawan atau lawan. Namun kita
cenderung tidak menyadarinya. Kita hanya menganggap kita dapat berelasi
dan menganggap kawan adalah berkat tetapi tidak untuk lawan.
Yang
terpenting dari semua ini adalah bukan menentukan siapa kawan dan lawan
yang layak untuk ‘Memberkati’ hidup Anda. Lupakan itu! Siapapun yang
hadir dalam hidup kita adalah anugerah dari Tuhan supaya kita bisa
belajar untuk mencintai meskipun mereka adalah lawan kita.
3. Menerima apa adanya.
Hal
yang paling menghambat buat kita mencintai seseorang adalah kesulitan
buat kita untuk menerima orang lain apa adanya. Saya pun demikian. Hal
itu wajar. Setiap orang berusaha agar memiliki orang yang ‘sempurna’
sesuai dengan harapan mereka sendiri. Kita berusaha menciptakan orang
lain sesuai keinginan kita. Kita lupa bahwa setiap orang itu unik.
Menerima
apa adanya berarti kita siap untuk menerima segala perbedaan antara
diri kita dengan orang lain. Menerima apa adanya berarti kita siap
menerima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki orang lain. Kita
tidak memusingkan apa yang dimiliki orang lain. Kita tidak protes
terhadap ketidaknyamanan diri kita terhadap orang lain.
Sadar
atau tidak bahwa kita akan mencintai seseorang bila mereka adalah orang
yang sempurna di mata kita. Kesempurnaan seseorang bukan ukuran cinta.
Ukuran cinta adalah menerima orang lain apa adanya secara sempurna.
4. Memaafkannya.
Kita
tidak akan pernah mencintai jika kita tidak belajar memaafkannya.
Memaafkan tidak selalu diidentikkan saat permusuhan atau menaruh dendam.
Memaafkan bisa dilakukan saat kita sulit untuk menerima orang lain apa
adanya. Memaafkan bisa dilakukan saat kita kecewa terhadap orang
tersebut. Hal mencintai yang paling besar adalah saat kita bisa
memaafkan orang lain, dan itu adalah permulaan sebuah cinta.
Dalam
memaafkan dibutuhkan kerelaan hati dan pemahaman bahwa setiap orang
boleh salah dan berbeda dari kita. Dalam memaafkan dibutuhkan cinta yang
lebih besar dari sekedar cinta kita terhadap orang yang kita sukai.
Cinta itu dapat tumbuh dengan melepaskan egoisme diri. Cinta dapat
muncul ketika hati terbuka dan siap menerima konsekuensi bahwa suatu
saat kesalahan dapat terjadi lagi, meskipun kita tidak pernah
merencanakan kesalahan itu terjadi lagi. Tuhan sebagai Sumber Cinta,
selalu memaafkan kita meskipun kita jatuh dalam kesalahan yang sama.
Ada
orang yang memaafkan hanya sekedar basa-basi atau unjuk diri. Namun
maaf yang tulus berasal dari hati dan bukan karena permintaan. Memaafkan
mengajarkan kita menyadari bahwa setiap manusia butuh cinta. Oleh
karena itu, dengan memaafkan kita belajar untuk mencintai.
Refleksi
Sahabat,
belajar mencintai itu menggunakan hati bukan pikiran. Belajar mencintai
diperlukan pengorbanan perasaan. Belajar mencintai itu memerlukan waktu
dan tidak instan. Belajar mencintai diperlukan kesungguhan dan
ketekunan. Belajar mencintai baik kawan maupun lawan dan siap menerima
orang lain apa adanya.:)
No comments:
Post a Comment