Wednesday, March 28, 2018

Belajar untuk Mencintai

Jika kalimat ini dibaca tentu akan merasa aneh. Aneh karena mencintai tidak perlu belajar. Aneh karena pada dasarnya manusia sudah memiliki cinta. Aneh karena sejak kecil kita sudah belajar mencintai, keluarga kita yang pertama. Tetapi, pernahkah terpikir oleh kita belajar untuk mencintai meskipun orang itu paling menyebalkan? Belajar untuk mencintai terhadap orang yang kita anggap musuh dan lawan kita, misalnya.

Apakah mungkin kita dapat mencintai orang yang kita anggap musuh kita? Jawabnya adalah mungkin. Apa yang menyebabkan kita menganggapnya sebagai ‘musuh’ berawal dari pikiran atau persepsi kita terhadap orang tersebut dan atau perasaan untuk tidak menerimanya. Bisa jadi musuh karena kita menganggapnya demikian,  karena salah satunya pikiran atau perasaan saja.

Berikut adalah hal-hal yang saya alami untuk dibagikan kepada Anda sebagai sahabat saya tentang belajar untuk mencintai:

1. Penilaian.
Saat pertama, kita berkenalan atau mengenal seseorang untuk pertama kali, hal apa yang terbayang dalam pikiran anda? Sebuah informasi pernah menunjukkan pada saya bahwa kesan pertama terhadap orang lain ditandai oleh ungkapan kita melalui kata sifat seperti cantik, baik, ramah, tampan, menyebalkan, membosankan, dsb. Kata-kata sifat yang diungkapkan pada kita terhadap orang lain bisa menjadi positif atau negatif tergantung bagaimana kita menilai orang tersebut.
Penilaian terhadap orang lain telah membuat kita ‘membutakan’ pengenalan lebih jauh terhadap orang tersebut. Penilaian kita didasarkan pada suka atau tidak. Penilaian kita didasarkan pada unsur subjektivitas kita. Dengan menilai, kita tidak pernah punya gambaran yang tepat mengenai orang tersebut.
Apakah Anda pernah salah mempersepsikan kesan pertama tentang orang lain? Apa yang terjadi setelah Anda tahu bahwa Anda salah? Malu, meyesal, merasa bersalah, dsb adalah hal-hal yang cenderung terjadi. Tapi bagaimana jika penilaian kita benar? Apakah Anda yakin bahwa penilaian itu 100% tentang orang tersebut? Di dunia ini, tidak pernah ada orang yang tepat menilai seseorang selain orang itu sendiri, bahkan alat tes psikologi sekalipun. Bagaimanapun, alat tes atau ramalan hanyalah kecenderungan yang mendekati kepribadian seseorang tetapi bukan menilai seseorang.
Anda memang berhak menilai seseorang. Dengan menilai, Anda cenderung untuk memasukkan orang tersebut dalam ‘kotak penilaian’ anda, termasuk memasukkan dalam ‘kotak lawan atau kotak orang-orang yang tidak disenangi’ atau ‘kotak kawan atau kotak orang-orang yang disenangi. ‘Kotak’ tersebut diciptakan oleh Anda. Kotak itu membelenggu pikiran dan perasaan Anda. Kotak itu akan terus Anda bawa saat Anda bertemu dengan orang itu. Kemanapun Anda pergi, Anda tidak pernah membiarkan orang itu keluar dari ‘kotak’ itu. Ketika orang itu berhasil keluar dari ‘kotak penilaian’ Anda, apa yang terjadi pada Anda?
Ada pepatah mengatakan, Jangan menilai seseorang dari penampilan saja! Tunggu dulu, Anda punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh tidak hanya saat pertama kali. Oleh karena itu, berhentilah membuat penilaian! Penilaian tidak menjamin bahwa kita benar-benar mengetahui 100% orang tersebut.

2. Mereka adalah Berkat buat saya.
Konsep Kawan atau Lawan adalah Berkat buat saya, telah saya terapkan beberapa tahun belakangan ini. Apapun yang terjadi dalam relasi saya dengan orang itu, baik Kawan atau Lawan, tetap menjadikan hidup saya bermakna. Bagaimana menurut Anda? Kok bisa? Pastinya harus bisa.
Anda menganggap orang itu adalah Lawan anda. Dengan merasa menjadi Lawan, Anda belajar untuk mengenal orang itu. Percaya atau tidak, lawan adalah sumber belajar Anda yang paling baik secara spiritual. Banyak hal yang anda pelajari dari orang lain sebagai kawan atau lawan. Namun kita cenderung tidak menyadarinya. Kita hanya menganggap kita dapat berelasi dan menganggap kawan adalah berkat tetapi tidak untuk lawan.
Yang terpenting dari semua ini adalah bukan menentukan siapa kawan dan lawan yang layak untuk ‘Memberkati’ hidup Anda. Lupakan itu! Siapapun yang hadir dalam hidup kita adalah anugerah dari Tuhan supaya kita bisa belajar untuk mencintai meskipun mereka adalah lawan kita.

3. Menerima apa adanya.
Hal yang paling menghambat buat kita mencintai seseorang adalah kesulitan buat kita untuk menerima orang lain apa adanya. Saya pun demikian. Hal itu wajar. Setiap orang berusaha agar memiliki orang yang ‘sempurna’ sesuai dengan harapan mereka sendiri. Kita berusaha menciptakan orang lain sesuai keinginan kita. Kita lupa bahwa setiap orang itu unik.
Menerima apa adanya berarti kita siap untuk menerima segala perbedaan antara diri kita dengan orang lain. Menerima apa adanya berarti kita siap menerima segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki orang lain. Kita tidak memusingkan apa yang dimiliki orang lain. Kita tidak protes terhadap ketidaknyamanan diri kita terhadap orang lain.
Sadar atau tidak bahwa kita akan mencintai seseorang bila mereka adalah orang yang sempurna di mata kita. Kesempurnaan seseorang bukan ukuran cinta. Ukuran cinta adalah menerima orang lain apa adanya secara sempurna.

4. Memaafkannya.
Kita tidak akan pernah mencintai jika kita tidak belajar memaafkannya. Memaafkan tidak selalu diidentikkan saat permusuhan atau menaruh dendam. Memaafkan bisa dilakukan saat kita sulit untuk menerima orang lain apa adanya. Memaafkan bisa dilakukan saat kita kecewa terhadap orang tersebut. Hal mencintai yang paling besar adalah saat kita bisa memaafkan orang lain, dan itu adalah permulaan sebuah cinta.
Dalam memaafkan dibutuhkan kerelaan hati dan pemahaman bahwa setiap orang boleh salah dan berbeda dari kita. Dalam memaafkan dibutuhkan cinta yang lebih besar dari sekedar cinta kita terhadap orang yang kita sukai. Cinta itu dapat tumbuh dengan melepaskan egoisme diri. Cinta dapat muncul ketika hati terbuka dan siap menerima konsekuensi bahwa suatu saat kesalahan dapat terjadi lagi, meskipun kita tidak pernah merencanakan kesalahan itu terjadi lagi. Tuhan sebagai Sumber Cinta, selalu memaafkan kita meskipun kita jatuh dalam kesalahan yang sama.
Ada orang yang memaafkan hanya sekedar basa-basi atau unjuk diri. Namun maaf yang tulus berasal dari hati dan bukan karena permintaan. Memaafkan mengajarkan kita menyadari bahwa setiap manusia butuh cinta. Oleh karena itu, dengan memaafkan kita belajar untuk mencintai.

Refleksi
Sahabat, belajar mencintai itu menggunakan hati bukan pikiran. Belajar mencintai diperlukan pengorbanan perasaan. Belajar mencintai itu memerlukan waktu dan tidak instan. Belajar mencintai diperlukan kesungguhan dan ketekunan. Belajar mencintai baik kawan maupun lawan dan siap menerima orang lain apa adanya.:)

No comments:

Post a Comment