
sumber foto: dokumen pribadi
“Ayo diminum kopinya. Kalau dingin, rasanya gak enak,” kata ibu penjual warung kopi membuyarkan lamunanku.
Slurput. Aku meminumnya seteguk sambil menghisap rokok di tangan kananku. “Kalau ngopi, harus merokok juga ya, nak?” Aku bingung jawabnya.
Aku rapikan rok mini yang sedikit terlipat akibat posisi duduk. Aku ambil kaca yang sudah retak untuk lihat warna lipstikku. Aku khawatir rokok membuat bibirku terlihat hitam.
“Semua habis berapa, bu?”
“Tiga ribu”
Sambil mengeluarkan uang dua ribu, aku berusaha merogoh recehan seribu rupiah, ibu tua itu menarik tanganku.
“Tinggal dulu di sini kalau urusannya belum jelas” kata ibu tua itu.
Ibu tua yang tidak tahu apa yang aku rasa. Kepedihan karena lelakiku yang pergi berkhianat. Kemiskinan sehingga aku tak punya apa-apa. Nasib pula yang menyebabkan aku yatim piatu dan tanpa siapa-siapa di dunia ini.
“Tinggal dimana, Nak?”
Aku diam. Aku bingung menjelaskannya. Aku tak punya tempat tinggal. Aku sebatang kara karena lelakiku itu.
“Hidup itu sudah susah, jangan dibuat susah toh. Gak usah dipikir,” sambung ibu tua itu sekali lagi. Dia seolah membaca raut muka dan kesedihanku. Tak ada yang peduli. Hanya rokok dan kopi yang menemaniku. Kini ibu tua itu begitu peduli padaku.
“Jika lelaki itu pergi mengkhianatimu, pergilah kamu dengan melupakannya. Apa pun yang hidup berikan, tidak ada yang abadi. Apa yang kamu genggam, suatu saat akan lepas juga.”
Aku mengiyakan. “Apa maksud ibu?”
“Sebagai perempuan kita harus pintar memberi kehangatan pada orang yang kita cintai. Kopi yang hangat paling nikmat untuk diminum. Rokok yang menyala paling nikmat untuk dihisap. Begitupun cinta. Jangan biarkan padam apalagi dingin dan mati.” Pernyataan ibu tua itu menusuk sanubariku. Yups, cintaku sudah dingin dan padam hingga lelakiku berkhianat padaku.
Berikan kehangatan untuk cinta. Besi yang kuat pun akhirnya meleleh mengikuti kehangatan api.
No comments:
Post a Comment