Wednesday, March 21, 2018

CERPEN: Dibawah Patung Bunda Maria



Waktu menunjukkan pukul 19.10 wib tetapi misa minggu sore belum berakhir. Resah. Itulah yang dirasakan oleh Perempuan itu. Ia pun bergegas membereskan teks misa dan buku Puji Syukur di hadapannya. Perempuan itu berdecak lagi, menggoyang-goyangkan kedua kakinya naik turun, menggumam sambil menengok kanan kiri. Ia berharap akan ada orang yang akan segera berkomentar, mendukung keresahannya akan waktu misa yang lama. Hasilnya nihil. Perempuan itu malah merasa dipandang aneh oleh jemaat yang duduk dalam satu barisan yang sama dengannya.
Perempuan itu kembali melihat jam tangan di tangan kirinya. Lima menit telah berlalu. Dia semakin tidak tahan untuk segera meninggalkan gereja. Ia meraih tas mungil warna merah, yang selalu sering dibawanya. Buru-buru, Perempuan itu meninggalkan bangkunya. Ia sengaja duduk di bangku panjang paling pinggir. Ia nyaman duduk di pinggir bangku dibandingkan di tengah. Ia tidak perlu merasa malu jika harus meninggalkan misa sebelum waktunya. Maklum, ritual terakhir sebagai tanda berakhirnya misa adalah pengucapan berkat dan perutusan dari Imam. Namun, kadang-kadang ada pula umat yang sudah meninggalkan gereja setelah waktu komuni tanpa menunggu doa penutup, pengumuman dan berkat dari Imam.
Segera Ia membuat tanda salib, sedikit membungkuk dan berlutut di ujung bangku. Ia bermaksud pamit dan meninggalkan gereja. Kemudian, Perempuan itu bergerak bangkit namun Ia begitu berat berdiri. Tas merahnya yang terbuat dari bahan rajutan tangan tersangkut oleh paku di pinggir bangku panjang. Perempuan itu menarik tasnya. Tidak berhasil. Ia kembali menarik paksa tasnya. Tentu, umat yang duduk di sekitar bangku dimana perempuan itu tadi duduk, langsung melihat reaksi perempuan itu. Beberapa remaja perempuan seperti berbisik dan tertawa cekikikan memperhatikan tingkah perempuan itu. Perempuan itu tertunduk malu sambil berjalan menuju pintu gereja.
Suara selop tingginya sempat menjadi perhatian umat yang berada di sekitar pintu keluar. Perempuan itu menutup mukanya dengan rambutnya. Ia sengaja untuk menguraikan rambut panjangnya agar menyamarkan wajahnya. Sebenarnya, Perempuan itu tidak perlu menyembunyikan wajahnya. Toh, sebagian umat telah mengenalinya dari tingkah polanya yang tidak pernah mengakhiri misa sesuai waktunya. Perempuan itu selalu pergi meninggalkan gereja sebelum misa berakhir. Atau lebih tepatnya, Perempuan itu akan pergi keluar gereja saat waktu pengumuman.
Perempuan itu bergegas mengambil air suci yang disediakan di samping pintu. Ia mengambil air suci dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang tas merahnya. Ia sempat menyesali mengapa insiden tas tadi terjadi. Namun, Ia langsung melupakannya begitu tangan kanannya memegang dahi, menyentuhnya dengan air suci yang diambilnya. Setelah dahi, Ia sedikit menyentuh dadanya lalu ujung bahu kanannya dan diakhiri dengan menyentuh ujung bahu kirinya. Ia merasa nyaman dengan tanda yang dibuatnya. Tanda salib itu telah dikenalnya sejak Ia mulai belajar bicara. Bahkan saat masih kecil dulu, Ia membuat tanda salib sambil menyanyikannya.
Beberapa umat yang duduk di dekat pintu tampak memperhatikan Perempuan itu. Ia sempat gugup untuk menuruni tangga halaman gereja. Entah apa yang membuatnya gugup, Ia sampai tidak memperhatikan anak-anak yang sedang bermain di hadapannya. Ia hampir menabrak seorang anak perempuan yang berusia lebih kurang 3 tahun. Anak perempuan itu langsung menangis. Anak itu menangis bukan karena jatuh atau tertabrak oleh Perempuan itu. Anak itu menangis karena melihat orang asing di hadapannya. Apalagi Perempuan itu sempat menyentuh tangannya dan meminta maaf kepada anak itu. Anak itu memang belum mengerti apa artinya maaf tetapi yang dilihatnya adalah orang asing. Seorang ibu langsung buru-buru menghampiri anak perempuan itu. Ibu itu membungkuk, mengambil anak itu dalam pelukannya dan pergi meninggalkan Perempuan yang telah membuat anaknya menangis itu dengan wajah tidak simpatik.
Kini semakin banyak umat yang duduk di luar gereja memperhatikan perilakunya yang telah membuat anak menangis. Perempuan itu semakin menundukkan kepalanya dan membiarkan rambutnya semakin menutupi wajahnya. Pikirnya pasti karena pakaian yang saat ini sedang dikenakannya. Ia sengaja mengenakan gaun merah selutut dan sedikit ada sulaman manik, bila berada di tempat gelap maka akan berkilau-kilauan. Gaun itu adalah kesukaannya sama seperti warna merah yang menjadi favoritnya. Benarkah warna merah berarti menandakan pusat perhatian? Padahal, Perempuan itu sudah menutupi lengan putihnya yang mulus dengan kardigan hitam. Ia pun merasa sopan karena Ia menutupi bagian dadanya dengan kancing-kancing kardigan. Tidak layakkah orang semacam dia untuk hadir di rumah ibadah yang suci ini.
Sambil membelokkan langkah menuju Gua Maria yang berada di bawah gereja. Ia terus berpikir mengapa umat memperhatikannya. Bunyi selop hitamnya semakin nyaring terdengar ketika Imam bersiap untuk memberikan berkat dan perutusan. Selop itu adalah pemberian seorang pria yang mengagumi kecantikannya. Selop itu sederhana. Namun, selop itu terlihat indah saat Perempuan itu mengenakannya. Bisa jadi karena Perempuan itu berkulit putih mulus. Bisa jadi karena selop itu berharga mahal dan belum tentu ada umat yang sanggup membelinya dan merasa iri memperhatikannya. Bisa jadi selop itu mampu membentuk tubuhnya terlihat seksi sehingga umat memperhatikannya. Stop pikiran negatif itu!, pikir perempuan itu.
Ia menuruni anak tangga yang menuju Gua Maria. Sebagai orang katolik, Ia meyakini betul keberadaan Bunda Maria, Ibu Yesus, dalam hidupnya. Hanya Bunda Maria-lah yang masih menerimanya. Tidak orangtuanya. Bukan sahabat-sahabatnya. Apalagi pasangan hidupnya. Semua menolaknya. Apakah umat yang tadi memperhatikannya tahu apa yang sedang dirasakannya? Tidak mungkin. Stop! Itulah yang disarankan oleh Romo itu. Kita harus bisa berpikir positif apapun kondisinya. Perempuan itu menarik napas dan berdiri memandangi Patung Bunda Maria dalam Gua gelap yang diterangi oleh sebuah lampu. Suasana syahdu langsung merasuki Perempuan itu.
Perempuan itu bergegas mencari tempat yang tepat untuk berdoa kepada Bunda Maria. Namun, Ia kecewa. Di depan Gua Maria tampak 2 orang remaja putri sedang duduk sambil asyik bercerita. Dasar ABG, pikir perempuan itu. Perempuan itu merasa dahulu Ia tidak seperti itu. Ia begitu sopan di dalam gereja. Ia tidak berani bicara sedikitpun. Ia ingat Ibunya akan mencubit pahanya jika Ia ketahuan berbisik kepada adiknya. Cubitan ibu akan selalu membekas berhari-hari baginya karena rasanya perih sekali. Mulai saat itu, Perempuan itu tidak berani lagi mencoba berbisik apalagi bercerita dalam gereja. Perempuan itu menarik napas lagi, mendesah karena bingung menyaksikan keinginannya yang gagal.
Ia bergumam. Ia kesal. Mulai terdengar deru mesin motor yang dinyalakan. Letak Gua Maria memang tidak jauh dari lokasi parkir motor. Perempuan itu juga bingung, mengapa letak Gua Maria tidak di tempat sunyi sehingga umat bisa berdoa dengan khusyuk. Atau, mengapa tidak ada tulisan untuk dilarang berbicara di area wilayah Gua Maria. Atau, memang salahkah jika berdoa di Gua Maria saat misa berakhir. Perempuan itu memang baru pertama kalinya hendak berdoa di Gua Maria. Selama ini, Perempuan itu akan segera keluar gereja dan langsung menuju lokasi parkir mobil, yang lokasinya berada di halaman sekolah katolik, dekat dengan gereja. Perempuan itu berpikir kemungkinan untuk berdoa di Gua Maria di hari kerja saja. Ia akan menyempatkan waktu untuk mampir di gereja dan berdoa kepada Bunda Maria selama mungkin. Ia ingin Bunda Maria memahami  kesulitan yang dihadapinya. Ia ingin Bunda Maria tahu bahwa manusia manapun di dunia ini sulit menerima kenyataan pahit seperti dirinya. Ia menyesal saat ini Bunda Maria belum mengetahui apa yang sedang dirasakannya.
Perempuan itu melangkah menjauhi Gua Maria. Ia berjalan menuju Gedung Pertemuan, bangunan berlantai tiga yang berisi ruang-ruang pertemuan. Entah mengapa Perempuan itu tidak ingin cepat-cepat pulang. Ia ingin merefleksikan diri. Begitu kata Romo kepada Perempuan itu. Refleksi akan membantu kita mengenali siapa kita dan apa saja hal-hal yang sudah kita lakukan. Kita akan menarik pembelajaran dari pengalaman hidup kita. Kita akan belajar untuk tidak melakukannya jika itu salah, dosa, mengecewakan hati Tuhan dan sesama. Tanpa sadar, Perempuan itu sudah menarik salah satu kursi dari tumpukan kursi.
Ia menarik kursi itu di sudut ruang pertemuan lantai 1.Ruang itu memang gelap dan hanya diterangi oleh seberkas cahaya lampu gereja yang letaknya lebih tinggi dari lantai 1 Gedung Pertemuan. Ia melihat sekeliling lokasi duduknya. Tidak ada orang. Ia menyilangkan kaki kanannya, bertumpu pada kaki kirinya. Tangan kanannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas, sementara tangan kirinya memegang tas merah mungil miliknya. Ia lega telah berhasil menemukan benda yang dicarinya. Lalu, Perempuan itu mengeluarkan korek dan berhasil menyalakan 1 batang benda putih yang tadi dicarinya. Ia menghirup ujung benda putih itu dalam-dalam, mengepulkan asap putih dari mulutnya dan menikmati setiap hirupan dari benda putih itu. Perempuan itu memonyongkan bibirnya yang berwarna merah oleh lipstik.
Refleksi! Aku harus refleksi, pikir Perempuan itu. Pembelajaran. Perempuan itu mengingat kembali pengalaman pahitnya hingga Ia bisa terinfeksi HIV. Mustahil. Enam bulan lalu, ia berkenalan dengan seorang pria di sebuah mall. Ia kagum pada kesopanan pria itu. Ia tertarik oleh setiap topik pembicaraan yang ditawarkan pria itu. Tentang cinta. Cinta memang menghanyutkan. Karena cinta, ia lupa bahwa dirinya telah bersuami dan memiliki dua orang putri yang cantik-cantik. Karena cinta, ia sampai menyerahkan segala waktu dan tenaga untuk menemani pria itu berpergian ke Bali. Karena cinta, ia sampai membohongi suaminya. Karena cinta, ia melupakan fungsinya sebagai ibu bagi kedua putrinya. Sampai suatu saat, pertengkaran itupun terjadi. Antara dirinya dengan suaminya. Dan karena cinta, suami dan anak-anaknya kini meninggalkan dirinya. Cinta siapakah? Kepada Pria pembawa virus itu? Stop! Berpikir positif. Lagi-lagi, ia teringat dengan pesan romo itu.
Perempuan itu kembali meraih kotak yang membungkus benda putih itu. Ia meraih benda putih panjang kedua kalinya. Ia menyalakan korek dan meletakkan apinya pada ujung benda itu. Ia menghela napas panjang. Ia mulai memikirkan kata-kata si konselor yang mengajaknya berkonsultasi sebelum dilakukan tes. Ia akan selalu ingat kalimat ini, pernahkah ibu melakukan perilaku berisiko? Perilaku berisiko. Seks di luar nikah.
Cepat-cepat Perempuan itu mematikan api benda putih panjang itu. Ia menekan ujungnya di pinggir kursi. Ia bergegas keluar ketika didengarnya suara-suara beberapa orang memasuki lantai 1 itu. Mungkin akan ada pertemuan, pikirnya. Perempuan itu berjalan ke Gua Maria. Ia berharap kali ini tidak gagal lagi untuk berdoa kepada Bunda Maria. Ia merapikan roknya yang terlipat ke belakang, mengebaskan kardigan dengan tangannya agar tidak tercium bau rokok. Ia keluarkan botol spray pewangi mulut, disemprotkannya hingga 2 kali ke dalam mulutnya.
Seperti harapannya, kini Gua Maria itu begitu sepi. Hanya 1 orang pria berumur empat puluhan tahun memegang butir-butir rosario sambil mulutnya berkomat-kamit. Pria itu berdiri di dekat pohon tetapi sedikit menjorok ke dalam sehingga tidak terlihat jika diperhatikan dari luar Gua Maria. Bunda Maria, inikah kesempatanku bertanya padaMu?
Ia bingung harus bagaimana memulai permohonan atau doa atau apa saja yang menjadi keluhannya kepada Bunda Maria. Ia sudah lupa berdoa rosario seperti yang dilakukan bapak itu. Tidak mungkin mengawalinya dengan doa rosario. Ia tidak bawa rosario.
Bunda, itulah kata pertama yang disebutnya. Tiba-tiba air mata menetes dari kedua belah matanya, mengalir dan terasa asin di bibirnya. Bunda, kata kedua disebutnya. Tangisnya semakin tidak tertahankan lagi. Tas merah mungilnya melorot dari pegangan tangan kirinya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menutup rasa malunya pada Bunda Maria. Menutup tangisnya yang semakin meluap tak tertahankan. Menutup kepedihan yang semakin dirasakannya. HIV, kata itu terbayang dalam benaknya.
Perempuan itu segera duduk di hadapan Gua Maria. Ia tidak lagi memikirkan kotor atau tidak tempat yang didudukinya. Bagi Perempuan itu, dirinya lebih kotor dari debu tempat pijakan duduknya. Di depan Gua Maria, Perempuan itu menangis tersedu-sedu.
Terbayang oleh Perempuan itu, peristiwa saat ia menabrak anak itu. Anak itu menangis bukan karena disakiti atau terluka. Ia menangis karena disentuh oleh orang asing. Ia langsung teringat bahwa dirinya tidak terluka atau disakiti. Ia menangis karena virus yang menjadi ‘orang asing’ telah menyentuh tubuhnya. Mengapa harus dirinya yang terinfeksi HIV padahal ia hanya sekali berhubungan intim dengan pria yang dikenalnya enam bulan lalu? Ya, hanya sekali saja tetapi Perempuan itu sungguh-sungguh menikmatinya dan menyesali sesudahnya.

No comments:

Post a Comment