Waktu
menunjukkan pukul 19.10 wib tetapi misa minggu sore belum berakhir.
Resah. Itulah yang dirasakan oleh Perempuan itu. Ia pun bergegas
membereskan teks misa dan buku Puji Syukur di hadapannya. Perempuan itu
berdecak lagi, menggoyang-goyangkan kedua kakinya naik turun, menggumam
sambil menengok kanan kiri. Ia berharap akan ada orang yang akan segera
berkomentar, mendukung keresahannya akan waktu misa yang lama. Hasilnya
nihil. Perempuan itu malah merasa dipandang aneh oleh jemaat yang duduk
dalam satu barisan yang sama dengannya.
Perempuan
itu kembali melihat jam tangan di tangan kirinya. Lima menit telah
berlalu. Dia semakin tidak tahan untuk segera meninggalkan gereja. Ia
meraih tas mungil warna merah, yang selalu sering dibawanya. Buru-buru,
Perempuan itu meninggalkan bangkunya. Ia sengaja duduk di bangku panjang
paling pinggir. Ia nyaman duduk di pinggir bangku dibandingkan di
tengah. Ia tidak perlu merasa malu jika harus meninggalkan misa sebelum
waktunya. Maklum, ritual terakhir sebagai tanda berakhirnya misa adalah
pengucapan berkat dan perutusan dari Imam. Namun, kadang-kadang ada pula
umat yang sudah meninggalkan gereja setelah waktu komuni tanpa menunggu
doa penutup, pengumuman dan berkat dari Imam.
Segera
Ia membuat tanda salib, sedikit membungkuk dan berlutut di ujung
bangku. Ia bermaksud pamit dan meninggalkan gereja. Kemudian, Perempuan
itu bergerak bangkit namun Ia begitu berat berdiri. Tas merahnya yang
terbuat dari bahan rajutan tangan tersangkut oleh paku di pinggir bangku
panjang. Perempuan itu menarik tasnya. Tidak berhasil. Ia kembali
menarik paksa tasnya. Tentu, umat yang duduk di sekitar bangku dimana
perempuan itu tadi duduk, langsung melihat reaksi perempuan itu.
Beberapa remaja perempuan seperti berbisik dan tertawa cekikikan
memperhatikan tingkah perempuan itu. Perempuan itu tertunduk malu sambil
berjalan menuju pintu gereja.
Suara
selop tingginya sempat menjadi perhatian umat yang berada di sekitar
pintu keluar. Perempuan itu menutup mukanya dengan rambutnya. Ia sengaja
untuk menguraikan rambut panjangnya agar menyamarkan wajahnya.
Sebenarnya, Perempuan itu tidak perlu menyembunyikan wajahnya. Toh,
sebagian umat telah mengenalinya dari tingkah polanya yang tidak pernah
mengakhiri misa sesuai waktunya. Perempuan itu selalu pergi meninggalkan
gereja sebelum misa berakhir. Atau lebih tepatnya, Perempuan itu akan
pergi keluar gereja saat waktu pengumuman.
Perempuan
itu bergegas mengambil air suci yang disediakan di samping pintu. Ia
mengambil air suci dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
memegang tas merahnya. Ia sempat menyesali mengapa insiden tas tadi
terjadi. Namun, Ia langsung melupakannya begitu tangan kanannya memegang
dahi, menyentuhnya dengan air suci yang diambilnya. Setelah dahi, Ia
sedikit menyentuh dadanya lalu ujung bahu kanannya dan diakhiri dengan
menyentuh ujung bahu kirinya. Ia merasa nyaman dengan tanda yang
dibuatnya. Tanda salib itu telah dikenalnya sejak Ia mulai belajar
bicara. Bahkan saat masih kecil dulu, Ia membuat tanda salib sambil
menyanyikannya.
Beberapa
umat yang duduk di dekat pintu tampak memperhatikan Perempuan itu. Ia
sempat gugup untuk menuruni tangga halaman gereja. Entah apa yang
membuatnya gugup, Ia sampai tidak memperhatikan anak-anak yang sedang
bermain di hadapannya. Ia hampir menabrak seorang anak perempuan yang
berusia lebih kurang 3 tahun. Anak perempuan itu langsung menangis. Anak
itu menangis bukan karena jatuh atau tertabrak oleh Perempuan itu. Anak
itu menangis karena melihat orang asing di hadapannya. Apalagi
Perempuan itu sempat menyentuh tangannya dan meminta maaf kepada anak
itu. Anak itu memang belum mengerti apa artinya maaf tetapi yang
dilihatnya adalah orang asing. Seorang ibu langsung buru-buru
menghampiri anak perempuan itu. Ibu itu membungkuk, mengambil anak itu
dalam pelukannya dan pergi meninggalkan Perempuan yang telah membuat
anaknya menangis itu dengan wajah tidak simpatik.
Kini
semakin banyak umat yang duduk di luar gereja memperhatikan perilakunya
yang telah membuat anak menangis. Perempuan itu semakin menundukkan
kepalanya dan membiarkan rambutnya semakin menutupi wajahnya. Pikirnya
pasti karena pakaian yang saat ini sedang dikenakannya. Ia sengaja
mengenakan gaun merah selutut dan sedikit ada sulaman manik, bila berada
di tempat gelap maka akan berkilau-kilauan. Gaun itu adalah kesukaannya
sama seperti warna merah yang menjadi favoritnya. Benarkah warna merah
berarti menandakan pusat perhatian? Padahal, Perempuan itu sudah
menutupi lengan putihnya yang mulus dengan kardigan hitam. Ia pun merasa
sopan karena Ia menutupi bagian dadanya dengan kancing-kancing
kardigan. Tidak layakkah orang semacam dia untuk hadir di rumah ibadah
yang suci ini.
Sambil
membelokkan langkah menuju Gua Maria yang berada di bawah gereja. Ia
terus berpikir mengapa umat memperhatikannya. Bunyi selop hitamnya
semakin nyaring terdengar ketika Imam bersiap untuk memberikan berkat
dan perutusan. Selop itu adalah pemberian seorang pria yang mengagumi
kecantikannya. Selop itu sederhana. Namun, selop itu terlihat indah saat
Perempuan itu mengenakannya. Bisa jadi karena Perempuan itu berkulit
putih mulus. Bisa jadi karena selop itu berharga mahal dan belum tentu
ada umat yang sanggup membelinya dan merasa iri memperhatikannya. Bisa
jadi selop itu mampu membentuk tubuhnya terlihat seksi sehingga umat
memperhatikannya. Stop pikiran negatif itu!, pikir perempuan itu.
Ia
menuruni anak tangga yang menuju Gua Maria. Sebagai orang katolik, Ia
meyakini betul keberadaan Bunda Maria, Ibu Yesus, dalam hidupnya. Hanya
Bunda Maria-lah yang masih menerimanya. Tidak orangtuanya. Bukan
sahabat-sahabatnya. Apalagi pasangan hidupnya. Semua menolaknya. Apakah
umat yang tadi memperhatikannya tahu apa yang sedang dirasakannya? Tidak
mungkin. Stop! Itulah yang disarankan oleh Romo itu. Kita harus bisa
berpikir positif apapun kondisinya. Perempuan itu menarik napas dan
berdiri memandangi Patung Bunda Maria dalam Gua gelap yang diterangi
oleh sebuah lampu. Suasana syahdu langsung merasuki Perempuan itu.
Perempuan
itu bergegas mencari tempat yang tepat untuk berdoa kepada Bunda Maria.
Namun, Ia kecewa. Di depan Gua Maria tampak 2 orang remaja putri sedang
duduk sambil asyik bercerita. Dasar ABG, pikir perempuan itu. Perempuan
itu merasa dahulu Ia tidak seperti itu. Ia begitu sopan di dalam
gereja. Ia tidak berani bicara sedikitpun. Ia ingat Ibunya akan mencubit
pahanya jika Ia ketahuan berbisik kepada adiknya. Cubitan ibu akan
selalu membekas berhari-hari baginya karena rasanya perih sekali. Mulai
saat itu, Perempuan itu tidak berani lagi mencoba berbisik apalagi
bercerita dalam gereja. Perempuan itu menarik napas lagi, mendesah
karena bingung menyaksikan keinginannya yang gagal.
Ia
bergumam. Ia kesal. Mulai terdengar deru mesin motor yang dinyalakan.
Letak Gua Maria memang tidak jauh dari lokasi parkir motor. Perempuan
itu juga bingung, mengapa letak Gua Maria tidak di tempat sunyi sehingga
umat bisa berdoa dengan khusyuk. Atau, mengapa tidak ada tulisan untuk
dilarang berbicara di area wilayah Gua Maria. Atau, memang salahkah jika
berdoa di Gua Maria saat misa berakhir. Perempuan itu memang baru
pertama kalinya hendak berdoa di Gua Maria. Selama ini, Perempuan itu
akan segera keluar gereja dan langsung menuju lokasi parkir mobil, yang
lokasinya berada di halaman sekolah katolik, dekat dengan gereja.
Perempuan itu berpikir kemungkinan untuk berdoa di Gua Maria di hari
kerja saja. Ia akan menyempatkan waktu untuk mampir di gereja dan berdoa
kepada Bunda Maria selama mungkin. Ia ingin Bunda Maria memahami
kesulitan yang dihadapinya. Ia ingin Bunda Maria tahu bahwa manusia
manapun di dunia ini sulit menerima kenyataan pahit seperti dirinya. Ia
menyesal saat ini Bunda Maria belum mengetahui apa yang sedang
dirasakannya.
Perempuan
itu melangkah menjauhi Gua Maria. Ia berjalan menuju Gedung Pertemuan,
bangunan berlantai tiga yang berisi ruang-ruang pertemuan. Entah mengapa
Perempuan itu tidak ingin cepat-cepat pulang. Ia ingin merefleksikan
diri. Begitu kata Romo kepada Perempuan itu. Refleksi akan membantu kita
mengenali siapa kita dan apa saja hal-hal yang sudah kita lakukan. Kita
akan menarik pembelajaran dari pengalaman hidup kita. Kita akan belajar
untuk tidak melakukannya jika itu salah, dosa, mengecewakan hati Tuhan
dan sesama. Tanpa sadar, Perempuan itu sudah menarik salah satu kursi
dari tumpukan kursi.
Ia
menarik kursi itu di sudut ruang pertemuan lantai 1.Ruang itu memang
gelap dan hanya diterangi oleh seberkas cahaya lampu gereja yang
letaknya lebih tinggi dari lantai 1 Gedung Pertemuan. Ia melihat
sekeliling lokasi duduknya. Tidak ada orang. Ia menyilangkan kaki
kanannya, bertumpu pada kaki kirinya. Tangan kanannya sibuk mencari
sesuatu di dalam tas, sementara tangan kirinya memegang tas merah mungil
miliknya. Ia lega telah berhasil menemukan benda yang dicarinya. Lalu,
Perempuan itu mengeluarkan korek dan berhasil menyalakan 1 batang benda
putih yang tadi dicarinya. Ia menghirup ujung benda putih itu
dalam-dalam, mengepulkan asap putih dari mulutnya dan menikmati setiap
hirupan dari benda putih itu. Perempuan itu memonyongkan bibirnya yang
berwarna merah oleh lipstik.
Refleksi!
Aku harus refleksi, pikir Perempuan itu. Pembelajaran. Perempuan itu
mengingat kembali pengalaman pahitnya hingga Ia bisa terinfeksi HIV.
Mustahil. Enam bulan lalu, ia berkenalan dengan seorang pria di sebuah
mall. Ia kagum pada kesopanan pria itu. Ia tertarik oleh setiap topik
pembicaraan yang ditawarkan pria itu. Tentang cinta. Cinta memang
menghanyutkan. Karena cinta, ia lupa bahwa dirinya telah bersuami dan
memiliki dua orang putri yang cantik-cantik. Karena cinta, ia sampai
menyerahkan segala waktu dan tenaga untuk menemani pria itu berpergian
ke Bali. Karena cinta, ia sampai membohongi suaminya. Karena cinta, ia
melupakan fungsinya sebagai ibu bagi kedua putrinya. Sampai suatu saat,
pertengkaran itupun terjadi. Antara dirinya dengan suaminya. Dan karena
cinta, suami dan anak-anaknya kini meninggalkan dirinya. Cinta siapakah?
Kepada Pria pembawa virus itu? Stop! Berpikir positif. Lagi-lagi, ia
teringat dengan pesan romo itu.
Perempuan
itu kembali meraih kotak yang membungkus benda putih itu. Ia meraih
benda putih panjang kedua kalinya. Ia menyalakan korek dan meletakkan
apinya pada ujung benda itu. Ia menghela napas panjang. Ia mulai
memikirkan kata-kata si konselor yang mengajaknya berkonsultasi sebelum
dilakukan tes. Ia akan selalu ingat kalimat ini, pernahkah ibu melakukan
perilaku berisiko? Perilaku berisiko. Seks di luar nikah.
Cepat-cepat
Perempuan itu mematikan api benda putih panjang itu. Ia menekan
ujungnya di pinggir kursi. Ia bergegas keluar ketika didengarnya
suara-suara beberapa orang memasuki lantai 1 itu. Mungkin akan ada
pertemuan, pikirnya. Perempuan itu berjalan ke Gua Maria. Ia berharap
kali ini tidak gagal lagi untuk berdoa kepada Bunda Maria. Ia merapikan
roknya yang terlipat ke belakang, mengebaskan kardigan dengan tangannya
agar tidak tercium bau rokok. Ia keluarkan botol spray pewangi mulut,
disemprotkannya hingga 2 kali ke dalam mulutnya.
Seperti
harapannya, kini Gua Maria itu begitu sepi. Hanya 1 orang pria berumur
empat puluhan tahun memegang butir-butir rosario sambil mulutnya
berkomat-kamit. Pria itu berdiri di dekat pohon tetapi sedikit menjorok
ke dalam sehingga tidak terlihat jika diperhatikan dari luar Gua Maria.
Bunda Maria, inikah kesempatanku bertanya padaMu?
Ia
bingung harus bagaimana memulai permohonan atau doa atau apa saja yang
menjadi keluhannya kepada Bunda Maria. Ia sudah lupa berdoa rosario
seperti yang dilakukan bapak itu. Tidak mungkin mengawalinya dengan doa
rosario. Ia tidak bawa rosario.
Bunda,
itulah kata pertama yang disebutnya. Tiba-tiba air mata menetes dari
kedua belah matanya, mengalir dan terasa asin di bibirnya. Bunda, kata
kedua disebutnya. Tangisnya semakin tidak tertahankan lagi. Tas merah
mungilnya melorot dari pegangan tangan kirinya. Ia menutup wajahnya
dengan kedua tangannya. Menutup rasa malunya pada Bunda Maria. Menutup
tangisnya yang semakin meluap tak tertahankan. Menutup kepedihan yang
semakin dirasakannya. HIV, kata itu terbayang dalam benaknya.
Perempuan
itu segera duduk di hadapan Gua Maria. Ia tidak lagi memikirkan kotor
atau tidak tempat yang didudukinya. Bagi Perempuan itu, dirinya lebih
kotor dari debu tempat pijakan duduknya. Di depan Gua Maria, Perempuan
itu menangis tersedu-sedu.
Terbayang
oleh Perempuan itu, peristiwa saat ia menabrak anak itu. Anak itu
menangis bukan karena disakiti atau terluka. Ia menangis karena disentuh
oleh orang asing. Ia langsung teringat bahwa dirinya tidak terluka atau
disakiti. Ia menangis karena virus yang menjadi ‘orang asing’ telah
menyentuh tubuhnya. Mengapa harus dirinya yang terinfeksi HIV padahal ia
hanya sekali berhubungan intim dengan pria yang dikenalnya enam bulan
lalu? Ya, hanya sekali saja tetapi Perempuan itu sungguh-sungguh
menikmatinya dan menyesali sesudahnya.
No comments:
Post a Comment