Thursday, April 5, 2018

Balon-balon yang Pergi Bersama Masa Lalu

Sumber foto: Dokumen pribadi
“Cup. Cup. Sudah berhenti nangisnya,” seru ibu mengelus bahuku. Aku terisak sesaat menghentikan tangisku. Aku tersenyum.
 
“Ibu tahu apa yang kau butuhkan. Ini!” kata ibu sambil menyerahkan dua balon warna padaku. Aku tertawa sambil melap air mata di pipiku. Sambil takjub, aku meringis aneh. “Balon? Apa maksud ibu?” tanyaku penuh selidik.
 
“Aku ‘kan sudah dewasa, Bu” seruku.
 
“Sedari kecil, kau suka sekali balon. Jika ada tukang balon, kau memperhatikannya. Meski tidak membeli balon, kau bilang suka mengamati kalau-kalau balon itu lepas ke udara. Terbang begitu saja. Lalu kau bilang pada ibu, kau ingin bisa seperti balon yang bisa terbang kemana pun kau suka. Begitu ‘kan?” kata ibu menjelaskan. Ibu benar aku suka balon dengan warnanya yang indah dan kemampuannya untuk terbang.
 
“Ibu, apa yang ibu katakan soal balon benar tetapi saat ini aku sedih. Mengapa dia pergi meninggalkanku ya?” kataku sambil terbata-bata menjelaskan. “Mengapa aku harus bertemu dan mengenal bajingan itu?” ujarku sekali lagi.
 
“Nak, untuk mendapatkan hati seorang Pangeran, kau tak perlu menjadi seorang Putri. Kau perlu mengenal pria yang kau sebut ‘bajingan’ agar kau tahu bagaimana pria yang baik sesungguhnya itu’ kata ibu sambil mengelus rambutku. Sementara aku masih memegang balon yang diberikannya.
 
Aku sedih pria yang aku cintai itu pergi tanpa kata penjelasan. Ia meninggalkan kenangan yang terlalu amat dalam hingga sulit buatku melepaskannya. Aku terus memikirkannya selama berbulan-bulan. Aku tak bisa melupakannya.
 
” Dengar Nak! Jika kau terlalu erat menggenggam balon itu, balon tak akan pernah terbang dan hilang dari padamu. Sama seperti rasa sakit hatimu, biarkan lepas dan menghilang daripadamu. Biarkan pergi. Sewaktu kecil, kau menangis saat balon yang ibu belikan terbang. Jika kau belajar melepaskannya dan merelakannya untuk pergi, ia tak pernah kembali lagi. Ayo, sekarang lepaskan balon itu seperti kau merelakan kepergian pria itu!” seru ibu kepadaku.
 
Aku merasa berat melepaskan balon-balon yang baru saja aku dapatkan. Aku jadi ingat masa kecilku sesaat. Ibu benar, aku harus merelakannya agar aku belajar ikhlas.
 
Relakan masa lalumu sehingga kau belajar ikhlas, nak. Ikhlas berarti kau menerima kepahitan itu dan merelakan dia pergi” kata ibu. Aku pun menuruti ibu.
 
Aku buka kedua tanganku dan membiarkan balon-balon pergi. Meski aku suka balon, ternyata aku bisa melepaskannya. Meski aku mencintai pria itu, ternyata aku mulai merelakan kepergiannya.
 
Ibu memelukku dan berkata, “Kau boleh mengampuni kesalahan di masa lalumu dengan jatuh cinta padanya tetapi jangan kau lupakan bagaimana ia sudah menyakitimu.”

No comments:

Post a Comment