Saya punya teman dekat di ujung dunia sana yang baru saja galau bahkan lebih dari sekedar galau karena putus cinta. Pacar yang dipujanya itu kini pergi meninggalkan dia. Masuk akal ketika dia galau hingga frustrasi, depresi dan hilang asa begitu dia menyebut kondisi dirinya sendiri karena hubungan mereka sempat merencanakan pelaminan. Wow! Sebagai teman baik, saya ikut prihatin dan membantu memulihkan perasaannya kembali.
Melihat dirinya “down” dan depresi, saya minta dia mencari bala bantuan. Berikut kutipan dia saat saya minta cari pertolongan,
“Saya mau cerita ke orangtua, malu karena saya terlalu memuja mantan. Saya mau curhat ke teman, belum tentu didengarkan, bisa jadi dicibir dan mungkin bahan gosip. Saya mau cari Konselor ahli, saya perlu atur jadwal dan pakai biaya lagi. Saya mau datang ke pemuka agama, wong saya jarang beribadah. Saya bingung, Jeng,” katanya terbata-bata saat video call dengan Skype.
Lalu saya merespon begini, “Lah, saya temanmu juga. Kamu malah cerita ke saya?”
Dengan alasan saya bisa membantunya, saya minta dia keluar dari situasi terpuruk tersebut. “Hey, move on! Do not hang on him!” seru saya padanya.
***
Membantu teman saya tersebut, sudah dua kali saya dapat email darinya yang berisi apa yang ingin ditulisnya. Yups, saya minta dia menulis, bukan posting status. “Tulislah apa yang ingin kamu tulis! Bisa kemarahan, kesedihan, puisi, cerita masa lalu dengan dia, masa depan tanpa dia, atau apa saja.” kata saya menasihati.
Saya berpikir menulis jadi terapi yang baik untuknya ketika tidak ada siapa pun yang dipercayainya. Belajar dari kisah nyata B.J Habibie yang menderita depresi karena kepergian isterinya, dokter dan tenaga medis di Jerman menyarankan untuknya menulis. Hingga akhirnya ia menemukan kedamaian batin dengan menulis.
Mengapa menulis jadi terapi yang baik buat depresi?
Di tahun 2009, Journal Psychology Today merilis pengalaman seorang penulis yang berhasil melewatkan masa-masa sulit dan depresi saat kehilangan suaminya (meninggal) melalui terapi menulis. Saran ini diberikan dokter dan psikolog untuk membantunya. Terapi ini dikenal dengan nama “Bibliotherapy”.
APA ITU?
“Bibliotherapy is an expressive therapy that involves the reading of specific texts with the purpose of healing. It uses an individual’s relationship to the content of books and poetry and other written words as therapy. Bibliotherapy is often combined with writing therapy”
Jadi mengapa menulis?
1. Karena menulis dinilai mampu menghubungkan secara ekspresif penulis (yang mengalami masalah depresi tersebut) dengan isi (kata/kalimat tertulis misal puisi, cerita).
2. Karena menulis dianggap menyembuhkan, selain terapi medis.
3. Karena menulis sebagai media katarsis untuk pemulihan depresi (Jurnal UNDIP 2011).
4. Karena menulis (menurut saya) menemukan kedamaian batin.
So, daripada posting status saat galau lebih baik tuliskan cerita bermutu! Siapa tahu jadi penulis terkenal?! 

No comments:
Post a Comment