Monday, April 16, 2018

Menikmati Perjalanan Dua Cangkir Teh

“Berhentilah menilai, Nak. Apa yang kau lihat bisa jadi hanya persepsi. Bahkan apa yang baru saja kau dengar mungkin opini,” kata Ibu sore itu kala minum teh bersama.
 
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, Bu.”
 
“Ikuti kata hatimu. Itulah kebenaran yang sesungguhnya,” sahut ibu kembali.
 
Kami melanjutkan minum teh kembali. Suasana tiba-tiba menjadi hangat sesaat untukku. Suara pluit pelabuhan berbunyi nyaring, tanda kapal akan berangkat. Kami berdua asyik memandang kapal itu bergerak menjauhi pelabuhan. Suasana hiruk pikuk orang di sekitar kami mulai tak terdengar. Kafe yang kami tempati sudah sepi dengan pengunjung.
 
“Bu, seandainya ibu harus membawa biduk kapal. Kemana sebaiknya biduk kapal itu harus berlabuh?” tanyaku pada ibu memecahkan kesunyian.
 
“Nak, dalam biduk kehidupan tidak ditentukan kemana arah perjalanannya atau tujuanmu berlabuh melainkan ditentukan dengan siapa kamu berjuang mengayuhnya” sahut ibu
 
Sambil melihat kapal pergi meninggalkan pelabuhan, ibu berkata, “Kadang kita begitu diberatkan dengan tujuan biduk kehidupan padahal seberapa jauh kita berlayar akan terasa nyaman jika kita sudah mengenal siapa yang bersama kita ketimbang tujuan kapal itu berlayar.”
 
Oh kalimat meluncur dari mulut ibu begitu menyentuh.
 
Angin dan badai yang dialami dalam perjalanan justru membuat kapal itu pergi jauh bergerak, bukan diam di tempat. “Jika badai datang, terima itu sebagai bagian dari perjalanan. Biarkan badai dan angin datang membawa kapalmu. Itu adalah cara alam bekerja membantumu, nak” tegas ibu.
 
“Impian di depan mata, kayuhlah kapalmu dengan percaya diri. Jika kau ragu, kau akan membingungkan si nahkoda kapal, orang yang bersamamu” kata ibu sambil menyelesaikan tegukan terakhir teh dalam cangkirnya.
 
Sesaat datang kapal lain berlabuh di lagi di dermaga. Kapal datang dan pergi seolah-olah perjalanan tak pernah berakhir.
 
“Hidup adalah perjalanan, nikmatilah nak” kata ibu sambil pergi membayar dua cangkir teh di sore hari.

PUISI: Kidung Cinta Pangeran Kodok

Rupa wajah yang tak setampan Romeo dalam Shakespeare. Mata yang tajam seperti elang dengan sorot seperti surya di pagi hari. Sesungging senyum seperti wangi bunga di pagi hari, meluluhkan hati. Wanita mana yang tak terpesona oleh mata dan senyum yang memanah hati?

Pangeran Kodok.
Kuberanikan diri menyapa keangkuhan hatinya. Ia hanya mengganggukan kepala. Sopan dan santun. Matanya menyelidik setiap lekuk tubuhku. Aku seperti ditelanjangi oleh sorot bintang dalam matanya. Gelora hati yang malu, tak kuasa aku menahan panah hati.

Pangeran Kodok.
Ia berlalu. Seiring waktu, ia tak terlihat. Ia pergi terbawa oleh kebisuan hatiku. Ia tak kembali hanya karena aku tak mampu menyelami samudera hatinya. Hatinya yang luas tak terbendung oleh jangkuan anganku. Memasuki hatinya seperti puri misteri yang gelap, hanya meraba dan sulit dipahami.

Kini senandung mesra, ditiupkan oleh Pangeran Kodok yang pergi membawa seraut tanya. Tak pernah kembali, meski hati memintanya. Tak pernah angin membawa kabar. Tak ada merpati yang tulus, terbang membawakan kidung mesra lagi padaku. Ia larut dalam misteri jiwa yang tak pernah kuselami.

Gelora cinta telah ditabuh olehnya. Sadarkah ia betapa aku mendambakannya? Tahukah ia betapa aku menginginkannya? Adakah ruang rindu antara aku dengannya dalam bilik hatinya? Maukah waktu sejenak mempertemukan kami kembali?

Tak kuasa aku menahan kidung mesra yang tertulis oleh suratan takdir. Tertulis nama Pangeran Kodok dan diriku dalam jalinan kisah asmara. Dewi Cinta mengukir nama kami berdua. Namun, sang waktu membawa impianku bersamanya.

Saat rembulan hadir bersama bintang. Kutiupkan nama Pangeran Kodok sambil berharap, malam itu akan kembali bersama kami lagi. Malam yang dihiasi oleh semburat merah jambu di sekelilingku. Malam yang berhasil mempertemukan kami dalam alunan emosi jiwa. Malam yang menggoda kami untuk saling menggenggam jemari tapi bukan hati.

Rasa rindu ini semakin membara. Rindu yang hampir menenggelamkan jiwaku. Rindu yang membuatku hampir gila, mencarinya. Kulambungkan anganku untuk seorang Pangeran Kodok dalam sebuah mimpi.

Sadar diri bahwa mimpi tak bertepi ini telah ditinggalkannya. Maaf telah terucap namun rindu masih tertinggal. Nama masih disebut dalam doa pada yang Ilahi. Agar kidung cinta ini masih terpatri dalam buku kisah asmara milik Dewi Cinta.

Semoga Kidung Cinta tak dihapus oleh Sang Waktu.


Jakarta, 16 April 2018
Ajeng

Postingan tersering dikunjungi