Ketika kita berbuat baik kadang kala orang lain menilai apa yang kita
lakukan tidak terlihat baik dimata mereka. Mereka akan memberikan
pendapat sesuai dengan kacamata mereka . Ada yang iri dan mencemooh
tindakan kita , ada yang tersinggung karena mereka merasa gengsi , ada
yang marah karena merasa dilecehkan dan sebagainya . Haruskah kita
menanggapinya ?
Hukum alam ini mengatakan " Apa yang kamu tanam itulah yang akan kamu tuai " .
Niat baik dengan perbuatan baik yang kita tanam pasti akan mendatangkan
hal yang baik pada diri kita . Tetapi ingat belum tentu perbuatan baik
seseorang dilandasi oleh niat baik .
Apa bila kita hendak melakukan suatu perbuatan upayakanlah selalu
didasarkan akan niat baik agar kebaikan yang datang pada diri kita.
Jika kita sudah melakukan hal kebaikan dan mendapatkan respon yang buruk
dari orang lain , jangan tanggapi apa yang mereka lakukan dan teruslah
berbuat baik . Jangan kotori diri kita dengan kemarahan , tetap teguhlah
pada keyakinan bahwa kita menanam hal yang baik , pasti hasilnya baik
,walaupun kita tidak mendapatkan hal yang baik dari mereka mungkin kita
akan mendapat hal yang baik dari orang lain.
Ketika kita melakukan niat baik jangan mengharapkan hasil dari perbuatan
tersebut . Apabila orang lain menanggapi negatif dan kita menjadi marah
, maka tanpa kita sadari kita baru saja menanam karma buruk yang baru .
Biarlakan saja apapun tanggapan orang lain .
" Biarpun anjing menggonggong kafilah tetap berlalu "
Dasarilah semua perbuatan kita dengan niat yang baik , lakukanlah
perbuatan baik ini dengan tulus , dan tetaplah tegar walupun orang lain
menilai perbuatan kita buruk , dan yakinlah Tuhan akan memberkati semua
perbuatan yang dilandasi dengan niat baik .
Penilaian seseorang ditentukan oleh kebersihan hati , orang yang bersih
hati akan melihat semua dengan rasa syukur , orang yang kotor hati akan
melihat semuanya dengan buruk .
Teruslah menanam kebaikan sehingga hati kita dipenuhi dengan KEDAMAIAN
God Bless Us..:)
Friday, June 22, 2018
Wednesday, June 20, 2018
Cerbung: Suminah & Nasibnya

Kala mentari terajut oleh senja sore, tak terbayang rembulan akan
segera datang menggantikannya. Mungkinkah angan akan berakhir di senja
sore ini? Pikir perempuan itu sekali lagi. Dhisapnya rokok sebatang,
menarik topi menutupi raut muka yang gosong oleh sinar mentari sepanjang
tadi dan mengemas barang-barangnya ke dalam tas. Barang-barang usang
yang selalu dibawa, buku alamat; sebungkus rokok; sekotak korek api,
telpon genggam lama; kaca dan sisir.
Telah disisir seisi kota untuk menemukan keberadaanya. Mengandalkan
buku alamat yang bertuliskan alamatnya, Jalan Ciasem Nomor 1, Jakarta,
ia berusaha mendapatkannya. Tak kunjung jua ditemukan raut mukanya yang
sendu dan mempesona tiga tahun lalu.
Dengan rok panjang hitam selutut, berkemeja merah, berbedak tipis dan
menguncir kuda rambut hitamnya yang sudah mulai memutih, Perempuan
berusia empat puluhan mulai gelisah memperhatikan jalan di hadapannya.
Kali ini, ia tampak ragu dengan penampilannya. Ia mengaca sedikit, lalu
mengambil lipstik merah di tasnya. Ia merasa kurang cantik dengan
lipstiknya yang sudah mulai pudar oleh gorengan bakwan yang baru saja
dikunyahnya. Tiga gorengan bakwan ditambah segelas teh manis cukup untuk
mengganjal perutnya yang mulai kosong, tak terisi oleh makanan sejak
malam sebelumnya.
Beruntung ibu penjual gorengan, mengijinkan perempuan itu duduk untuk
menikmati gorengan dan menunggu beberapa saat. Entah apa yang ditunggu
oleh perempuan pembeli tiga gorengan bakwan, pikir si ibu penjual
gorengan.
“Gak papa kan, bu? Saya masih menunggu di sini” tanya perempuan itu kepada penjual gorengan.
“Silahkan saja, bu. Gak papa kok” sahut ibu penjual gorengan.
“Nama saya Suminah, tinggal di kontrakan Pak Maman. Saya datang
ke Jakarta, hendak mencari suami saya, bu. Sudah tiga tahun, saya tak
bertemu dengannya” lanjut Suminah, perempuan pembeli tiga gorengan
bakwan. Pikirnya lebih baik memperkenalkan diri terlebih dulu sebelum
penjual gorengan bertanya balik siapa dirinya. Budaya ketimuran nan
santun ingin ditunjukkan kepada penjual gorengan bahwa ia adalah
perempuan baik-baik yang telah bersuami.
Penjual gorengan nampak cuek dengan perkenalan Suminah barusan.
Sambil sibuk mempersiapkan adonan bakwan, ia tampak acuh terhadap
kehadiran orang-orang seperti Suminah. Kota sebesar Jakarta tentu akan
mudah ditemukan perempuan-perempuan malang seperti Suminah yang mencari
suami, kerabatnya, anaknya, dan lain-lain. Ia tak peduli. Toh, hidup di
Jakarta adalah kegetiran setiap orang yang harus dihadapi. Begitu pula
dengan hidupnya sebagai penjual gorengan selama tiga belas tahun,
setelah meninggalkan kampung halaman yang berniat semula untuk mencari
suaminya di Jakarta.
Kini perempuan yang mengaku bernama Suminah, bernasib sama seperti
dirinya. Ah, masak bodoh. Sambil terus menguleni adonan dan menggoreng,
ia sibuk melayani beberapa pria yang duduk di sebelah timur, yang sedang
menikmati gorengan yang masih panas.
Suminah memakai lipstik merahnya. Ia memperhatikan bibirnya,
merapatkan kedua bibirnya agar semua lipstiknya tersapu rata, dan
memonyongkan sedikit bibirnya. Ini adalah trik Suminah yang hanya punya
satu lipstik, agar bisa terlihat cantik oleh suaminya nanti. Bibirnya
yang terlihat tebal dan sedikit hitam karena batang rokok yang
dibakarnya tiap hari harus ditutupi oleh warna lipstik merahnya. Begitu
kesannya. Mungkin suaminya sekarang tak akan tahu bahwa ia telah
merokok.
Merokok adalah aktivitas yang membuat Suminah merasa nyaman dan larut
dalam persoalan yang sedang dipikirkannya. Dengan merokok, pikirnya, ia
pasti akan memikirkan bagaimana caranya agar dapat uang, sehingga dapat
membeli rokok sebungkus tiap hari. Tidak lagi sebungkus, pikirnya. Ia
kini telah berhasil menghabiskan dua bungkus lebih rokok. Itu artinya,
ia harus semakin getol mencari uang untuk membeli rokok.
Dulu di kampung halamannya, Suminah dikenal sebagai tukang pijit
panggilan. Ia sudah cukup dikenal, bukan karena keahliannya untuk
memijit lalu sembuh tetapi karena pijatannya yang aduhai yang dinikmati
oleh setiap lelaki yang menginginkannya. Anehnya, para istri yang
meminta suaminya dipijat tak pernah protes. Bodohkah sang istri? Pikir
Suminah. Atau memang sebagai istri, kita hanya bisa tertunduk diam
terhadap keinginan dan mungkin kebutuhan para suami.
Suminah tak peduli terhadap pendapat para ibu di kampung halamannya.
Toh, ia tetap dikenal oleh para bapak di kampungnya, bahkan para pejabat
desa yang berjarak jauh dengan kampungnya. Mungkin pijatannya telah
cukup dikenal menggairahkan bagi para pria yang menginginkannya lebih
dari sekedar menghilangkan pegal-pegal.
Sepeninggalan suaminya, ia berhasil mengumpulkan banyak uang.
Pundi-pundi uang yang terkumpul digunakannya untuk mencari suaminya di
Jakarta. Niat yang indah telah terpatri dalam ingatan Suminah bahwa
kelak setahun setelah di Jakarta, suami Suminah akan membawanya tinggal
di Jakarta. Janji tinggal janji. Ia tak kunjung datang.
Benih cinta yang harusnya tumbuh dan besar, kini tiada oleh
kecelakaan yang seharusnya tak terjadi. Entah apa yang akan dikatakan
suaminya terhadap kecerobohannya itu. Telah tiga kali, Suminah
keguguran. Tiga kali itu pula, suami suminah selalu melakukan kekerasan
terhadap dirinya. Ia dicap sebagai perempuan bodoh. Ia dipukul,
tangannya diikat, kakinya diikat dan perutnya disundut oleh rokok.
Suminah hanya diam. Ia masih menurut dan menerima perlakuan itu. Atas
dasar cinta, ia menerima semua ini. Bodohkah ia sebagai perempuan dan
juga istri? Atau, Suminah takut kehilangan suaminya sama seperti
sekarang ia berusaha mencarinya agar suami yang jadi miliknya akan
selalu menjadi miliknya.
Waktu menunjukkan menjelang maghrib. Para lelaki yang berada di hadapan Suminah, pamit kepada penjual gorengan.
“Loh, ambil lima kok bayarnya cuma dua. Hai, utang yang kemarin, gimana?” seru penjual gorengan kepada seorang bapak berbaju hitam yang segera lari meninggalkan warung kecil itu.
Seperti mengiyakan perilaku pembeli gorengan, penjual gorengan tampak
diam dan pasrah. Mungkin ini nasibnya. Entah sebagai perempuan yang tak
bisa melawan atau sebagai kaum yang lemah. Bahkan untuk memperjuangkan
haknya sebagai penjual gorengan pun, ia tak bisa. Ia sudah tersakiti
oleh perlakuan suaminya yang sudah menikah dengan perempuan lain. Apakah
untuk mempertahankan hidup, para pria ini juga menyerang hidupnya yang
sudah lemah dan rapuh oleh kebaikannya? Perasaan itu yang dirasakan oleh
penjual gorengan.
Melihat gelagat penjual gorengan, yang kecewa dengan perlakuan bapak-bapak di hadapannya, Suminah pun berkata, “Bu, biar nanti saya yang bayar. Hitung-hitung bayar saya duduk lama di sini.” Harga
gorengan lima ratus perak, jika dikalikan tiga gorengan yang belum
terbayar, Suminah masih cukup untuk membayarnya. Ia sudah bertahan hanya
makan sekali saja sehari.
“Gak usah, bu. Memang sudah nasib saya sebagai perempuan. Kita hanya bisa nrimo. Ya begitu itu” keluh penjual gorengan.
Suminah tak mengerti kaitan antara membayar gorengan dengan nasib
sebagai perempuan. Apakah nasib perempuan memang selalu menjadi korban
ketidakadilan lelaki? Apakah perempuan tak mampu membela haknya? Dia pun
segera mengulurkan uang lima ribu rupiah dari balik kutang, yang
digulung halus bersama duit seribu dan dua puluh ribu lainnya. “Ini bu.
Terimalah. Buat bayar gorengan, teh manis dan upah duduk di sini.”, seru
Suminah.
“Kembali seribu, bu” jawab Penjual gorengan.
“Tak usah, ambil saja kembaliannya, bu” timpal Suminah kemudian.
Sebagai bentuk penghargaan dan budaya kesantunan, kedua perempuan ini
sama-sama memanggil ibu. Meski tidak tahu mana yang lebih tua atau
lebih muda, tetapi kata ibu seperti menyepakati bahwa perempuan ini
sudah berumur paruh baya, sudah memiliki anak mungkin, tetapi mungkin
sudah bersuami.
Sudah hari kelima, Suminah berada di kota besar Jakarta. Kota yang
tak pernah dibayangkan sebelumnya. Kota yang dijanjikan oleh suaminya.
Kota impian bagi para perempuan di kampungnya. Kota yang menjanjikan
perubahan hidup menurut kebanyakan orang di kampungnya. Tetapi, ia tak
punya siapa pun di kota ini. Ia tak mencatat tempat tinggal orang-orang
di kampungnya yang mungkin saja sukses hidup di Jakarta.
Tinggal di kontrakan berukuran dua meter kali tiga meter, bukan
sebuah tempat yang nyaman bagi Suminah. Namun, hanya tempat itu yang
bersedia untuk membayar waktu menunggunya selama sepuluh hari di
Jakarta. Ia membayar lima puluh ribu untuk sepuluh hari tinggal di
tempat itu. Mahal, pikirnya. Apa boleh buat, ia harus membayar dan harus
menemukan suaminya segera. Pundi-pundi uangnya sudah mulai menipis.
—Bersambung—
Subscribe to:
Posts (Atom)
Postingan tersering dikunjungi

